Pembelajaran Dengan Memanfaatkan Laboratorium
IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat
Guru Bidang Studi IPs MTs
OLEH
Drs. Rudi Hariyono, M.Pd
ABSTRAK
Telah dibuat laporan penelitian yang ditekankan pada Pembelajaran dengan
Memanfaatkan Laboratorium IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat Guru
Bidang Studi IPS MTs”
Pembelajaran dengan Memanfaatkan Laboratorium IPS untuk Meningkatkan
Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS MTs” memberikan dampak yang positif
khususnya bagi motivasi guru maupun siswa sebagai subyek belajar.
Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka Pembelajaran dengan Memanfaatkan
Laboratorium IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS
MI” menggunakan analisis regresi dengan bantuan program SPSS for Windows versi
11.5. Untuk pengujian hipotesis menggunakan uji t dengan bantuan program SPSS for
Windows versi 11.5. dengan uji anova satu jalur.
Tanpa banyak mengeluarkan biaya serta tenaga dan bisa disesuaikan dengan situasi
serta kondisi guru pengajar, dengan demikian pembelajaran IPS yang terkadang
membosankan bahkan mengarah kepada metode ceramah sebagai metode dominan dapat
bergeser kepada pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif serta menyenangkan
(Paikem) sehingga aktualisasi guru lebih berkembang sekaligus muncul kesadaran kreatif
yang dampaknya bisa mengarah ke pembelajaran profesional.
Kata-kata kunci : Pembelajaran Memanfaatkan Laboratorium IPS Meningkatkan
Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS MTs”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin canggih,
semakin meningkat baik ragam, lebih-lebih kualitasnya (Tilaar, 1997). Di sisi lain,
berdasarkan hasil evaluasi dengan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
diketahui bahwa siswa belum mencapai kemampuan optimalnya. Siswa hanya tahu
banyak fakta, tetapi kurang mampu memanfaatkannya secara efektif. Sementara itu,
pemerintah dan masyarakat berharap agar lulusan dapat menjadi pemimpin, manajer,
inovator, operator yang efektif dan yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Oleh
sebab itu, beban yang diemban oleh Madrasah, dalam hal ini adalah guru sangat berat,
karena gurulah yang berada pada garis depan dalam membentuk pribadi anak didik.
Dengan demikian sistem pendidikan di masa depan perlu dikembangkan agar dapat
menjadi lebih responsife terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan
dihadapi di dunia kerja di masa mendatang.
IPS merupakan salah satu mata pelajaran terpadu di madrasah tsanawiyah
dianggap sebagai pelajaran yang sulit bagi siswa apalagi terbagi atas empat mata
pelajaran yaitu geografi, sejarah, sosiologi, serta ekonomi, sehingga diperlukan suatu
metode khusus yang dapat membantu meningkatkan minat siswa terhadap mata
pelajaran ini. IPS merupakan mata pelajaran yang menuntut daya kritis dan daya
analisis yang cukup tinggi karena sebagian besar materi ajar terdapata pada lingkungan
masyarakat., dan disinilah peran guru diharapkan mampu menemukan suatu metode
yang tepat.
Jika ditelaah lebih mendalam pola pengajaran yang dilakukan oleh guru pada
umumnya, berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, maka masih kurang
adanya kesesuaian pola pengajaran yang dilakukan oleh guru. Pengajaran bidangbidang
akademis masih dilakukan secara konvensional yang hanya membuahkan
kemampuan yang dangkal pada siswa. Padahal salah satu titik tumpu untuk mencapai
tujuan pembelajaran adalah melalui pengajaran bidang akademis tersebut.
Adanya pola pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru, di antaranya disebabkan
karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman guru terhadap fungsi media
pembelajaran secara maksimal, model pembelajaran yang tepat, dan kurang
tersedianya perangkat pembelajaran yang sesuai. Media Pembelajaran, Model
pembelajaran serta perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah yang bisa
meningkatkan kemampuan akademik, melatihkan keterampilan proses, sekaligus
memberikan nuansa tersendiri bagi berlangsungnya proses belajar mengajar dikelas
lebih variatif. Secara teoritis, untuk mengatasi permasalahan tersebut di antaranya
dengan mengembangkan pembuatan media pembelajaran oleh guru yang disesuaikan
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.
Tersedianya perangkat pembelajaran merupakan salah satu faktor yang dapat
menunjang proses pembelajaran berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur (1999), bahwa perangkat pembelajaran
memberikan kemudahan dan dapat membantu guru dalam mempersiapkan dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Perangkat ini menyediakan sejumlah
strategi untuk mendorong siswa menggunakan gaya-gaya belajar berbeda. Sehingga
dengan perencanaan yang seksama, kebutuhan untuk seluruh siswa dapat dipenuhi dalam
kelas.
Pola pengajaran seperti yang telah diuraikan di atas, menjadi salah satu penyebab
rendahnya motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah di Madrasah tsanawiyah. Harus
disadari bahwa banyak parameter yang mempengaruhi motivasi belajar, seperti;
intelegensi siswa, ketersediaan sarana dan prasarana belajar, latar belakang pendidikan
guru, kemampuan guru dalam mengorganisasikan pembelajaran, dan lain sebagainya.
Tetapi yang sangat penting dilakukan sekarang ini adalah mengembangkan perangkat
pembelajaran melalui pembuatan media pembelajaran , sekaligus melatihkan kepada
guru suatu model pembelajaran yang diharapkan bisa mewujudkan tujuan tersebut.
Tugas guru tidak hanya sekedar mengupayakan para siswanya untuk memperoleh
berbagai pengetahuan produk dan keterampilan. Lebih dari itu, guru harus dapat
mendorong siswa untuk dapat bekerja secara kelompok dalam rangka menumbuhkan
daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas, terbuka, dan ingin tahu. Oleh
sebab itu dalam kegiatan belajar mengajar perlu dikembangkan pengalaman-pengalaman
belajar melalui pendekatan dan inovasi pembuatan media pembelajaran serta dikaikan
dengan model-model pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran IPS khususnya diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong
siswa belajar secara aktif, baik fisik, mental-intelektual, maupun sosial (kelompok)
untuk memahami konsep-konsep sosial, sehingga dalam menghadapi kehidupannya
mapu berinteraksi secara baik. Dalam mengembangkan pembelajaran IPS di kelas,
yang diharapkan adalah keterlibatan aktif seluruh siswa dalam kegiatan pembelajaran,
yaitu kemampuan untuk menarik konklusi (kesimpulan) yang tepat dari bukti-bukti
yang ada.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman penulis, bahwa dalam kegiatan belajar
mengajar IPS selama ini sebenarnya guru bidang studi IPS sudah menerapkan
pembelajaran berkelompok untuk menyampaikan konsep-konsep IPS. Beberapa tugas
yang harus dikerjakan siswa secara kelompok seperti membuat kronologis sejarah dan
menjelaskan setiap peristiwa dengan metode diskusi, membuat menganalisis peta,
membuat alur kebutuhan manusia pada bidang studi geografi, serta membuat kesimpulan
tentang masalah interaksi sosial, serta tugas mengerjakan lembar kerja siswa (LKS)
secara individu maupun kelompok, dan masih banyak lagi tugas lainnya. Tetapi kalau
dicermati, kegiatan kelompok tersebut bukan pembelajaran kooperatif. Tujuan dan kerja
kelompok hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar mengajar tersebut biasanya hanya
didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang
berperan dalam mengerjakan tugas kelompok. Di samping itu juga siswa tidak dilatihkan
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain. Akibat cara
kerja kelompok seperti ini menyebabkan siswa yang kurang minatnya dan motivasinya
rendah akan semakin bosan dan pada akhirnya memperoleh hasil belajar IPS yang tetap
rendah dan adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang
motivasinya tinggi dengan hasil belajar siswa yang kurang motivasinya rendah.
Pada mata pelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah materi IPS dapat dikatakan
sebagai materi yang sangat padat meliputi empat mata pelajaran yang meliputi geografi,
sejarah, sosiologi, ekonomi, dimana tiap-tiap mata pelajaran terdiri lagi materi serta
submateri ,hal ini masih ditambah kendala minimnya waktu pertemuan dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar dikelas yaitu rata-rata 6 x 40 menit tiap minggunya.
Dengan demikian, pembelajaran yang mungkin dilakukan adalah pembelajaran yang
berorientasi kepada siswa dengan memberikan suatu strategi yang tepat pada pelaksanaan
pembelajaran. Ada dua model utama untuk mengajarkan strategi-strategi belajar. Model itu
adalah model pengajaran langsung (direct instruction) dan pengajaran terbalik (reciprocal
teaching) (Arends, 1997:265).
Penggunaan strategi-strategi belajar secara efektif memerlukan pengetahuan deklaratif
dan prosedural (arends, 1997: 265). Pengetahuan deklaratif tentang strategi-strategi tertentu
termasuk bagaimana strategi itu didefinisikan, mengapa strategi itu berhasil, dan bagaimana
strategi itu serupa atau berbeda dari strategi-strategi yang lain. Siswa juga memerlukan
pengetahuan prosedural sehingga mereka dapat menggunakan berbagai macam strategi secara
efektif.
Dari uraian di atas, perlu untuk melakukan penelitian dengan mengembangkan perangkat
pembelajaran melalui pembuatan media pembelajaran sederhana sebagai salah satu altematif
dalam mengatasi permasalahan kualitas pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah di Jawa
Timur. Penelitian ini berjudul
“HUBUNGAN PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP PENINGKATAN
PROFESIONAL MENGAJAR GURU IPS PADA DIKLAT GURU IPS MTS DI JAWA
TIMUR”
Pada dasarnya penelitian yang dilakukan ini adalah mengembangkan perangkat
pembelajaran yang berorientasi pada pembuatan media pembelajaran secara sederhana dan
dikaitkan dengan model pembelajaran kooperatif.
1.1 Rumusan Masalah
Bertolak dari permasalahan pada latar belakang di atas, dapat di tarik rumusan masalah
sebagai berikut :
Apakah ada hubungan pembuatan media pembelajaran dapat meningkatkan
profesional mengajar guru IPS pada Madrasah Tsanawiyah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada tujuan yang diharapkan yaitu :
Untuk mengetahui apakah ada hubungan pembuatan media pembelajaran dapat
meningkatkan profesional mengajar guru IPS pada Madrasah Tsanawiyah.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan informasi dan temuan yang lebih
mendalam, terutama yang berhubungan dengan kualitas pembelajaran IPS. Tentu saja,
diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh subjek yang berkompeten dalam
memajukan kualitas belajar terutama dalam proses belajar mengajar dikelas khususnya guruguru
yang berada dalam lingkungan Madrasah Tsanawiyah dibawah Kementerian Agama.
Temuan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. Pusdiklat dan Balai Diklat Keagamaan Surabaya dengan harapan dapat mengetahui hasil
yang diperoleh peserta diklat khususnya masalah kualitas dalam proses pembelajaran
yang nantinya bisa dijadikan sebagai pijakan penentuan diklat kedepan.
2. Widyaiswara dengan harapan dapat dijadikan pijakan didalam pemberian sajian materi
diklat serta bisa pengembangan penelitian yang relevan.
3. Peserta diklat atau Guru dengan harapan bisa mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran
yang nantinya akan menciptakan proses belajar mengajar lebih baik dan lebih sempurna
dalam membangun pribadi siswa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakekat Belajar Mengajar
Belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan pada individu karena pengalaman.
Menurut Sardiman (1990:23) belajar merupakan serangkaian kegiatan jiwa-raga, psiko-fisik
untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya. Sedangkan Susanto (1999:1)
mendefinisikan belajar sebagai proses dimana otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap
kondisi-kondisi luar dari reaksi itu dapat dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman yang
dialami sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam belajar dibutuhkan
kekaktifan untuk mencapai suatu tujuan pengajaran. Keaktifan tidak hanya dituntut dari segi
fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Jika hanya fisik yang aktif, tetapi pikiran juga mental kurang
aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai (Djamarah, 1996:44). Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu kegiatan yang melibatkan jiwaraga,
mental dan fisik dari seseorang dengan disertai keaktifan dan tanggung jawab, dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar (Sardiman,
1990:47). Sejalan dengan pernyataan Sardiman, Susanto (1999:1) menyatakan bahwa pengajaran
merupakan upaya yang dilakukan untuk membuat lingkungan sedemikian rupa agar proses
belajar efektif. Jadi dapat dikatakan, mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang
kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Kondisi ini diciptakan
sedemikian rupa sehingga membantu perkembangan anak secara optimal, baik jasmani maupun
rohani, fisik maupun mental.
Sardiman (1990:48) menyatakan bahwa fungsi pokok dalam mengajar adalah
menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak melakukan kegiatan
adalah siswanya dalam menemukan dan memecahkan masalah. Dalam hal ini guru hanya
sebagai fasilitator saja, sedang siswa bertindak sebagai pelaksana sekaligus sebagai penentu
keberhasilan utama untuk mencapai tujuan bersama dalam pembelajaran. Oleh karena itu peran
guru dalam menyediakan sarana, suasana dan kondisi pembelajaran bagi anak didik juga mutlak
diperlukan karena dengan adanya peran guru yang optimal maka diharapkan peran siswa juga
optimal.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat belajar mengajar
adalah segala perubahan pada diri seseorang, baik jiwa dan raga, fisik dan mental, jasmani
maupun rohani, supaya proses belajar mengajar berlangsung efektif. Dalam belajar mengajar,
tanggung jawab semua komponen sangat diperlukan, baik dari guru, siswa, instansi sekolah
maupun orang tua. Selain itu penyediaan kondisi dan suasana belajar yang kondusif mutlak
diperlukan dalam proses mengajar supaya peserta menjadi semangat dalam belajar.
1.1.1 Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental (Sardiman, 1998:98).
Jadi aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat fisik maupun mental.
Dalam proses pembelajaran terdapat suatu aktivitas belajar. Dalam suatu pembelajaran, selain
terdapat aktivitas siswa, juga terdapat suatu proses belajar mengajar. Proses belajar tersebut
merupakan serangkaian kegiatan belajar yang melibatkan siswa, guru, media, materi pelajaran
dan lingkungan. Apabila seorang guru mampu menyediakan suasana pembelajaran yang menarik
maka proses belajar siswa juga akan berjalan lancar. Masing-masing siswa akan semakin aktif
dan tujuan pembelajaran akan dapat cepat tercapai.
Pada prinsipnya belajar adalah suatu kegiatan untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada
belajar kalau tidak ada aktivitas (Sardiman, 1990:94). Dalam kegiatan belajar mengajar, aktivitas
siswa sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran sangat diperlukan, sebab belajar
adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Guru
hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar berlangsung
dengan baik (Suparno, 1997:65). Hal tersebut berarti bahwa dalam pembelajaran diperlukan
keterlibatan siswa dan guru secara aktif baik fisik maupun mental. Keseimbangan antara
aktivitas fisik atau jasmani dan mental/rohani merupakan faktor penting dalam peningkatan hasil
belajar.
Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian di sekolah
merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan
oleh siswa di sekolah. Proses belajar siswa tidak cukup hanya dengan mendengarkan dan
mencatat seperti yang umum terdapat di sekolah-sekolah tradisional.
Sardiman (1990:99) menggolongkan kegiatan proses siswa, antara lain sebagai berikut:
1. Visual activities. Yang termasuk di dalamnya misalnya: membaca, memperhatikan
gambar demonstrasi, percobaan.
2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, sebagai contoh, mendengarkan: uraian, percakapan diskusi, musik
dan pidato.
4. Writing activities, contoh: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6. Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan,
membuat konstruksi, bermain, berkebun, beternak.
7. Mental activities, misalnya: berminat, merasa bosan, gembira, bersemangat, berani,
tenang, gugup.
Jadi dengan klasifikasi aktivitas seperti uraian di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di
sekolah itu cukup kompleks dan bervariasi. Jika berbagai macam kegiatan tersebut dapat
diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah itu akan lebih dinamis, tidak membosankan dan
benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal. Sehingga ini semua merupakan
tantangan yang menuntut jawaban dari para guru. Kreativitas guru mutlak diperlukan agar dapat
merencanakan kegiatan siswa yang sangat bervariasi.
Pada hakikatnya dapat disimpulkan bahwa proses belajar siswa adalah segala kegiatan
yang dilaksanakan siswa mulai dari pelajaran dimulai sampai pelajaran diakhiri. Proses belajar
dikelas harus melibatkan seluruh aspek pembelajaran, diantaranya adalah guru, kepala sekolah,
komite sekolah, lingkungan dan lain-lain. Selain itu sarana dan prasarana pembelajaran mutlak
diperlukan supaya pembelajran berlangsung efektif dan efisien.
1.1.2 Pembelajaran Kontekstual
Susanto (2004:4-5) menyatakan bahwa selaras dengan arah pembaharuan pendidikan
dalam kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), ada tiga hal pokok yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan program dan pelaksanaan
pembelajaran sains, yaitu:
a) Pembelajaran seharusnya menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup secara luas, bukan
sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan semata.
b) Proses pembelajaran adalah penyediaan pengalaman belajar kepada siswa untuk membangun
sendiri kompetensi-kompetensi yang mendukung tercapainya penguasaan kecakapan hidup.
c) Pembelajaran dirancang agar siswa mengekplorasi isu-isu “salingtemas” di lingkungan
kehidupan nyata.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, implementasi pembelajaran sains dapat menggunakan
pendekatan dan metode pembelajaran yang pada akhir-akhir ini sangat “populer” yaitu
pembelajaran konstruktivis dan pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran karena
pembelajaran itu memandang bahwa siswa belajar untuk membangun kecakapannya dalam
konteks kehidupan nyata. Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka dalam
anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi dkk. 2004 :4). Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Pembelajaran konstruktivis memandang siswa
sebagai insan yang mampu dan sedang membangun sendiri perilaku-perilaku belajarnya.
Pembelajaran konstruktivis menyarankan agar dalam proses pembelajaran siswa membangun
sendri konsep pengetahuan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman awal (prior knowledge)
yang telah dimiliki. Bila diartikan lebih luas sesuai dengan konsep pendidikan kecakapan hidup,
pembelajaran konstruktivis ini mempunyai makna bahwa dalam proses belajar siswa diberi
fasilitas untuk membangun sendiri kecakapan-kecakapan hidup (Susanto, 2004:5-6).
Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pembelajaran konstruktivisme dan pembelajaran
kontekstual, jika keduanya digunakan sebagai pendekatan dan metodologi dalam suatu
pembelajaran sains, maka pembelajaran sains tersebut dapat menjiwai ciri-ciri pembelajaran
yang dikehendaki dalam kurikulum berbasis kompetensi. Dengan dasar itu, pembelajaran
dikemas dalam proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Siswa menjadi pusat
kegiatan, bukan guru. Untuk itu, tugas guru dalam memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1)
menjadikan pengetahuan yang bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan siswa
menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyandarkan siswa agar menerapkan
strategi mereka sendiri dalam belajar. Hal inilah yang membedakan dengan pembelajaran
tradisional yang berpijak pada pandangan behaviorisme.
Corebima (2002:41) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pembelajaran lainnya karena proses pembelajaran berlangsung atas dasar
permasalahan riil dunia, sehingga lebih bermakna dan memungkinkan perkembangan pemikiran
tingkat tinggi, serta memberi kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya. Oleh karena itu, model pembelajaran sains yang perlu dikembangkan harus
mengandung prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual. Beberapa prinsip yang harus dipegang
oleh guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual itu disebutkan oleh Susanto (2004:7-8)
sebagai berikut.
a. Konstruktivis (Constructivist). Dalam pembelajaran konstruktivis siswa menyusun atau
membangun sendiri pengertian dan pemahamannya dari pengalaman baru yang didasarkan
pada pengetahuan dan keyakiann awal yang telah dimilikinya.
b. Bertanya (Questioning). Dalam model pembelajaran sejarah yang berbasis kontekstual siswa
perlu diberi fasilitas untuk mengemukakan pertanyaan berdasarkan masalah yang ditemukan.
Masalah dapat dikemukakan oleh guru jika siswa kesulitan untuk menemukan sendiri.
c. Inquiry (inquiry). Dalam model pembelajaran sains berbasis kontekstual kegiatan belajar
siswa melalui proses inquiring, yaitu: proses-penemuan masalah-penarikan hipotesispengumpulan
dan pencatatan data-analisis data-penarikan kesimpulan.
d. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Dalam model pembelajaran kontekstual
siswa perlu diatur sehingga antar sesama dapat bekerja sama secara kooperatif, artinya siswa
tidak hanya bekerja dalam kelompok tetapi juga setiap anggota kelompok bertanggung jawab
atas keberhasilan belajar semua anggota kelompok.
e. Refleksi. Dalam pembelajaran konstruktivisme masalah dan hipotesis (dari proses inquiring)
yang diajukan oleh siswa pada tahap eksplorasi merupakan pengetahuan atau konsep awal
siswa. Ketika siswa sudah menemukan konsep pada tahap eksplanasi, siswa perlu diajak
merefleksi konsep awal terhadap konsep yang berhasil dibangun sendiri.
f. Pemodelan (modelling). Dalam model pembelajaran sains yang berbasis kontekstual guru
merupakan model, yaitu model mengenai kecakapan dan keterampilan yang perlu dikuasai
siswa. Kecakapan yang dibelajarkan sebaiknya dimodelkan, bukan hanya diberitahukan,
dijelaskan, atau diperintahkan. Dalam pembelajaran kooperatif, pemodelan bukan hanya dari
guru, melainkan juga dari siswa lain yang menjadi teman sebaya.
g. Asessmen autentik (Authentic assessment). Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian
belajar ditujukan pada kecakapan otentik yang diperoleh dalam pembelajaran, yaitu
kecakapan yang dapat diamati dalam situasi nyata dan berada dalam pengalaman langsung
siswa. Penilaian belajar diusahakan tidak hanya dengan “paper and pencil test”, melainkan
juga dengan “hands-on evaluation technique” yaitu dengan menampilkan benda atau
kejadian asli. Salah satu elemen penting dalam pembelajaran kontekstual adalah bertanya
(questioning). Corebima (2004:18) menyatakan bahwa dalam pembelajaran produktif,
kegiatan bertanya berguna untuk mengecek pemahaman siswa dan membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa. Bertanya tentu tidak sekedar bertanya, tetapi melibatkan
pikiran. Oleh karena itu, kualitas dan tipe pertanyaan dalam pembelajaran perlu mendapat
perhatian untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
Selain aspek pendekatan pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran juga sangat
menentukan kualitas pengajaran dalam proses belajar mengajar. Hal ini berarti bahwa untuk
mencapai kualitas pengajaran yang tinggi setiap mata pelajaran, khususnya biologi, harus
diorganisasikan dengan metode pembelajaran yang tepat dan selanjutnya disampaikan pada
siswa dengan metode yang tepat pula.
Menurut teori Jim, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah
bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar secara
sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada
siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa siswa akan pemahaman yang lebih
tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran sejarah, yaitu Teori Perkembangan Kognitif Piaget, dan
Teori Perkembangan Mental Vygotsky.
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget adalah salah satu pioner yang menggunakan filsafat konstruktivis dalam
proses belajar. Piaget menyatakan bahwa anak membangun sendiri skemanya serta
membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya. Piaget membedakan
perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2)
taraf pra-operasional, (3) taraf operasional konkrit, dan (4) taraf operasional formal.
Walaupun ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget
mengasumsikan bahwa selunrh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang
sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungan. Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat persamaan yaitu terletak
pada peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya (Woolfolk, 1993) dan
membantu siswa menghubungkan antara apa yang sudah diketahui siswa dengan apa yang
sedang dan akan dipelajari (Abruscato, 1999). Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran
diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan
pengalaman-pengalarnan nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang
lain serta peranan guru sebagai fasilitator yang rnempersiapkan lingkungan dan
memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.
Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut (Slavin,
1994):
a. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengalamanpengalaman
belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap
fungsi kognitif dan Inanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang
digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan
guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif
dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran
pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan
anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan
dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru
mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa selumh siswa tumbuh dan
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung
pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan upaya untuk
mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran khas
menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
2. Teori Perkembangan Fungsi Mental Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan,
yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah kopi dari apa yang mereka temukan di dalam
lingkungan, tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri, melalui bahasa.
Meskipun kedua ahli memperhatikan pertumbuhan pengetahuan dan pemahaman anak
tentang dunia sekitar, Piaget lebih memberikan tekanan pada proses mental anak dan
Vygotsky lebih menekankan pada peran pengajaran dan interaksi sosial pada
perkembangan IPA dan pengetahuan lain (Howe & Jones, 1993).
Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep
zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin bahwa
pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugastugas
itu berada dalam zone of proximal development. ZPD adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky lebih
yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam kerjasama
atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam
individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep Scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1994).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe &. Jones,
1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar
siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling
memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing
ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding,
dengan semakin lama siswa semakin bertanggungjawab terhadap pembelajaran sendiri.
Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok
sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam
kegiatan pembelajaran.
2.1.3 Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivis
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi
pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu (Abmscato,
1999). Persepsi yang dimiliki oleh siswa mempengaruhi pembentukan persepsi baru. Siswa
menginterpretasi pengalaman baru dan memperoleh pengetahuan baru berdasar realitas
yang telah terbentuk di dalam pikiran siswa.
Konstruktivisme yang berakar pada prsikologi kognitif, menjelaskan bahwa siswa
belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran utama guru adalah
membantu siswa membentuk hubungan antara apa yang dipelajari dan apa yang sudah
diketahui siswa. Bila prinsip-prinsip konstruktivisme benar-benar digunakan di ruang
kelas, maka guru harus mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini siswa sebelum
memulai unit pelajaran baru.
Ada tiga prinsip yang menggambarkan konstruktivisme (Abruscato, 1999);
1. seseorang tidak pernah benar-benar memahami dunia sebagaimana adanya karena
tiap orang membentuk keyakinan atas apa yang sebenarnya,
2. keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang menyaring atau mengubah
informasi yang diterima seseorang,
3. siswa membentuk suatu realitas berdasar pada keyakinan yang dimiliki,
kemampuan untuk bernalar, dan kemauan siswa untuk memadukan apa yang
mereka yakini dengan apa yang benar-benar mereka amati.
2.1.4 Pembelajaran Kooperatif
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam pernbelajaran kooperatif adalah sebagai berikut
(Lungdren, 1994) :
Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka "tenggelam atau berenang
bersama".
Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain
dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota
kelompok.
Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.
Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan
bekerja sama selama belajar.
Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling
membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6
orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah
terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat
untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar
belakangmya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar
dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar
yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah ;
setiap anggota memiliki peran,
terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa
setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas belajarnya dan juga temanteman
sekelompoknya,
guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal
kelompok,
guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif
sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika
kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok
didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam
menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu,
dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas
anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk
menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman
sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup
nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari
yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang
berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk
berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh lbrahim, et al.
(2000), yaitu :
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalarn membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping
rnengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dan
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuarmya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial,
penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam
keterampilan sosial.
Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja,
tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilanketerampilan
khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan
kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan
hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok
selarna kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara
lain sebagai berikut (Lungdren, 1994):
a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
o Menggunakan kesepakatan
Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah
menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja
dalam kelompok.
o Menghargai kontribusi
Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat
dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju
dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap
ide dan tidak individu.
o Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok
bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab
tertentu dalam kelompok.
o Berada dalam kelompok
Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja
selama kegiatan berlangsung.
o Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu
yang dibutuhkan.
o Mendorong partisipasi
Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok
untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
o Mengundang orang lain
Maksudnya adalah meininta orang lain untuk berbicara dan
berpartisipasi terhadap tugas.
o Menyelesaikan tugas dalam waktunya
o Menghormati perbedaan individu
Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati
terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dan semua siswa atau peserta
didik.
b. Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan
simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan
dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan
mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran
kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada tabel
2.1
Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah laku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompokkelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu
setiapkelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase 4:
Membimbing
Kelompok bekerja dan
belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
Fase 5:
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing
kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Fase 6:
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai,
baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
(Arends, 1997)
Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends,
1997). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan
tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini
diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal.
Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru
bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung.
Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir
kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan
kelompok dan usaha-usaha individu.
1.2 Media (Alat Bantu) dalam pembelajaran
Bahan pengajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta,
konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum
dan dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Metodologi pengajaran adalah
metode dan teknik yang digunakan dalam melakukan interaksinya dengan siswa agar
bahan pengajaran sampai kepaad siswa, sehingga siswa menguasai tujuan pengajaran.
Dalam metodologi ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode mengajar
dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalah alat
untuk mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya suatu tujuan pengajaran.
Pola pembelajaran yang memanfaatkan media pembelajaran yang memanfaatkan
media pembelajaran sebagai sumber – sumber di samping guru dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pola pembelajaran dibantu media (Arifin,2000)
Salah satu gambar yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori
penggunaan media dalam proses belajar adalah Dale’s Cone of Experience (Kerucut
Pengalaman dale). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tigkatan
pengalaman yang dikemukakan oleh bruner. Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari
pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang
kemudian melalui benda tiruan sampai kepada lambing verbal (abstrak). Semakin diatas
puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Perlu dicatat bahwa urut –
urutan ini tidak berarti prosesw belajar dan interaksi mengajar belajar harus selalu dimulai
dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi mempertimbangkan
situasi belajarnya.
Tujuan Penetapan Isi
dan Metoda
Guru dengan
Media
Siswa
1.3 Pendidikan dan Pembelajaran IPS
Banyak pendidik dan ahli berpendapat bahwa IPS harus diajarkan di sekolah.
Mengapa IPS perlu diajarkan. Van der Meulen menyatakan, tercantumnya IPS dalam
kurikulum sekolah dimaksukan terutama untuk membangun kepribadian dan sikap mental
siswa. Dari khasanah IPS, siswa dan guru dapat menggali dan mengaktualisasikan nilainilai
edukatif dan inspiratif yang terkandung didalamnya. Jadi IPS diajarkan untuk
menjadikan maanak didik bisa mensikapi kehidupan yang ada di masyarakat.
IPS membangkitkan keinsyafan akan suatu dimensi yang amat fundamentaldalam
eksisteni masyarakat, yaitu gerakan dan peralihan terus menerus dari yang lalu kearah
depan artinya dalam kehidupan manusia :
Hanya ada selama ia bergerak kedepan.
Pada masa kini dan kedepan selalu merupakan penerusan warisan nenek moyangnya
dalam bentuk perubahan, pembaharuan, peralihan, perpaduan warisan nenek moyang
dan ciptaan kini.
IPS berguna bagi kita, karena memberi pengertian bahwa perubahan
adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, karena itu kita harus senantiasa belajar menyesuaikan
dengan keadaan yang erubah-ubah. Kita harus selalu terbuka bagi perubahan yang kian hari kian
cepat terdapat dalam berbagi aspek kehidupan.
Beberapa ungkapan nilai edukasi, instruksi dan inspirasi dalam IPS menunjukkan bahwa
IPS sebagai sarana pendidikan dalam konteks IPS sebagai mata pelajaran disekolah-sekolah,
maka tujuan dan substansinya disesuaikan dengan segi-segi normatif yang dikandung oleh
tujuan pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan nasional. Mata pelajaran IPS diharapkan
kontribusinya bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional, melalui capaian tujuan pembelajaran
sesuai standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Eksistensi orientasi pembelajaran IPS sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan
kreatifitas pengajarnya. Guru yang tidak disiapkan secara khusus dan mendalam, hanya
akan mampu menyajikan pelajaran IPS secara “dekte” dan monoton. Padahal sejarah dan
pembelajaran IPS merupakan usaha menghidupkan kembali masa lampau melalui
penggunaan strategi dan metode yang mendorong siswa berfikir kritis kesejarahan. Guru
IPS perlu mantap menguasai dan menuntun siswa bertalian dengan kaidah-kaidah
keilmuan IPS. Jadi guru harus memiliki bekal memadai mengenai metodologi dan filsafat
IPS yang menyangkut kerja IPS , serta menguasai metodologi pembelajaran menyangkut
penyampaian pengetahuan IPS (transfering knowledge).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pembuatan media
pembelajaran pada pelaksanaan diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis
Keagamaan Surabaya Jawa Timur dapat mengoptimalkan kualitas pembelajaran sejarah
khususnya di Madrasah Tsanawiyah se-jawa Timur. Dalam pembelajaran dikelas tidak
terlepas dari strategi, pendekatan maupun model pembelajaran yang mengarah kepada
perangkat dalam media pembelajaran, sehingga diharapkan setelah menerima materi diklat
IPS tingkat dasar ada perubahan dalam kualitas Pembelajaran IPS ditempat kerja, sehingga
dari sini akan terlihat peran Balai Diklat dalam proses pembelajaran pada pelaksanaan
diklat.
Pengukuran terhadap optimalisasi kualitas pembelajaran sejarah kepada peserta
diklat guru bidang studi sejarah pada Madrasah Tsanawiyah (MTs) dapat dilihat dari
perbandingan nilai pre-tes micro teaching dengan nilai akhir post-tes micro teaching serta
dengan memberikan lembar pertanyaan terbuka .
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung,
ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari
semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya,
sedangkan sampel yaitu bagian yang diambil dari populasi ( sudjana 1996:6).
Penelitian ini menggunakan teknik random sampling, jadi setiap anggota populasi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampling ( Hadi ; 1997:75).
Tentang besarnya sampel penelitian, bila subyeknya kurang dari 100 diambil semua, dan
jika subyeknya besar diambil 10% - 15%, 20% - 25 % atau lebih (Arikunto 1989 : 07).
Menurut data statistik yang ada pada Balai Diklat tenaga Teknis Keagamaan
Surabaya, jumlah peserta diklat guru-guru IPS MTs se-Jawa timur tahun 2012 berjumlah
30 orang.
3.2.2. Sampel penelitian
Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah guru-guru peserta Diklat IPS
Madrasah Tsanawiyah se jawa Timur tahun 2012 yang berjumlah 30 orang baik dari
Madrasah Tsanawiyah Negeri maupun Madrasah Tsanawiyah swasta.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Menurut M. Zaini, instrumen penelitian adalah alat ukur variabel yang digunakan untuk
mengumpulkan data dilapangan. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan sebagai
berikut :
1. Angket
Angket digunakan untuk mengukur variabel bebas (X) yaitu tentang pembuatan media
pembelajaran sederhana oleh guru sejarah, juga untuk mengukur variabel terikat (Y) yaitu
optimalisasi kualitas Pembelajaran Sejarah kepada sampel yang telah ditentukan.
2. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengukur variabel terikat (Y) yaitu optimalisasi kualitas
Pembelajaran Sejarah, dengan membandingkan nilai pre-tes micro teaching dan post-tes
microteaching pada peserta guru Sejarah.
3.4 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis regresi dengan bantuan
program SPSS for Windows versi 11.5. Untuk pengujian hipotesis menggunakan uji t
dengan bantuan program SPSS for Windows versi 11.5. dengan uji anova satu jalur.
1.5 Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2011 bersamaan
dilaksanakannya diklat guru sejarah Madrasah Tsanawiyah .
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2001. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Arikunto, S. 1991. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Corebima, AD. 2002. Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional.
Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. 1993. Garis-garis Besar Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ibrahim, M., Fida R., Nur, M. dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif Surabaya:
Unesa Press.
Karim, 2000. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbarrg
Diknas.
Marjohari. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Bandung: ITB Bandung.
Nur, M. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya : Program Pascasarjana. IKIP Surabaya.
Nur, M. 1999. Pengantar pada Pengajaran dan Pengelolaan Kelas. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Nur, M. 2000. Strategi-strategi Belajar. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.
Rusyan, T. Atang K dan Zainal A. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung
: Remaja Karya Bandung.
Slavin. 1995. Cooperative Leaming Theory. Second Edition. Massachusetts: Allyn and
Bacon Publisher.
Slavin. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Needham Heights: Allyn R:
Bacon.
Supamo, P, 1997. Filsafat Konstruktivis dalam Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Sulo, La Sl. Et. Al. 1985. Pengajaran Mikro. Jakarta: Proyek PPTK Ditjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud.
Suryo, Joko. 1991. Pengembangan kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA. Malang; IKIP
Malang.
Tilaar, H. 1997. "Paradigma Baru Pendidikan Nasional". Editor: All Saukah. Jurnal llmu
Pendidikan, Jilid 7 Desember 1997. Jakarta: LPTK & ISPI.
Winkel, W.S. 1989. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat
Guru Bidang Studi IPs MTs
OLEH
Drs. Rudi Hariyono, M.Pd
ABSTRAK
Telah dibuat laporan penelitian yang ditekankan pada Pembelajaran dengan
Memanfaatkan Laboratorium IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat Guru
Bidang Studi IPS MTs”
Pembelajaran dengan Memanfaatkan Laboratorium IPS untuk Meningkatkan
Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS MTs” memberikan dampak yang positif
khususnya bagi motivasi guru maupun siswa sebagai subyek belajar.
Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka Pembelajaran dengan Memanfaatkan
Laboratorium IPS untuk Meningkatkan Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS
MI” menggunakan analisis regresi dengan bantuan program SPSS for Windows versi
11.5. Untuk pengujian hipotesis menggunakan uji t dengan bantuan program SPSS for
Windows versi 11.5. dengan uji anova satu jalur.
Tanpa banyak mengeluarkan biaya serta tenaga dan bisa disesuaikan dengan situasi
serta kondisi guru pengajar, dengan demikian pembelajaran IPS yang terkadang
membosankan bahkan mengarah kepada metode ceramah sebagai metode dominan dapat
bergeser kepada pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif serta menyenangkan
(Paikem) sehingga aktualisasi guru lebih berkembang sekaligus muncul kesadaran kreatif
yang dampaknya bisa mengarah ke pembelajaran profesional.
Kata-kata kunci : Pembelajaran Memanfaatkan Laboratorium IPS Meningkatkan
Kualitas Peserta Diklat Guru Bidang Studi IPS MTs”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin canggih,
semakin meningkat baik ragam, lebih-lebih kualitasnya (Tilaar, 1997). Di sisi lain,
berdasarkan hasil evaluasi dengan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
diketahui bahwa siswa belum mencapai kemampuan optimalnya. Siswa hanya tahu
banyak fakta, tetapi kurang mampu memanfaatkannya secara efektif. Sementara itu,
pemerintah dan masyarakat berharap agar lulusan dapat menjadi pemimpin, manajer,
inovator, operator yang efektif dan yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Oleh
sebab itu, beban yang diemban oleh Madrasah, dalam hal ini adalah guru sangat berat,
karena gurulah yang berada pada garis depan dalam membentuk pribadi anak didik.
Dengan demikian sistem pendidikan di masa depan perlu dikembangkan agar dapat
menjadi lebih responsife terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan
dihadapi di dunia kerja di masa mendatang.
IPS merupakan salah satu mata pelajaran terpadu di madrasah tsanawiyah
dianggap sebagai pelajaran yang sulit bagi siswa apalagi terbagi atas empat mata
pelajaran yaitu geografi, sejarah, sosiologi, serta ekonomi, sehingga diperlukan suatu
metode khusus yang dapat membantu meningkatkan minat siswa terhadap mata
pelajaran ini. IPS merupakan mata pelajaran yang menuntut daya kritis dan daya
analisis yang cukup tinggi karena sebagian besar materi ajar terdapata pada lingkungan
masyarakat., dan disinilah peran guru diharapkan mampu menemukan suatu metode
yang tepat.
Jika ditelaah lebih mendalam pola pengajaran yang dilakukan oleh guru pada
umumnya, berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, maka masih kurang
adanya kesesuaian pola pengajaran yang dilakukan oleh guru. Pengajaran bidangbidang
akademis masih dilakukan secara konvensional yang hanya membuahkan
kemampuan yang dangkal pada siswa. Padahal salah satu titik tumpu untuk mencapai
tujuan pembelajaran adalah melalui pengajaran bidang akademis tersebut.
Adanya pola pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru, di antaranya disebabkan
karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman guru terhadap fungsi media
pembelajaran secara maksimal, model pembelajaran yang tepat, dan kurang
tersedianya perangkat pembelajaran yang sesuai. Media Pembelajaran, Model
pembelajaran serta perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah yang bisa
meningkatkan kemampuan akademik, melatihkan keterampilan proses, sekaligus
memberikan nuansa tersendiri bagi berlangsungnya proses belajar mengajar dikelas
lebih variatif. Secara teoritis, untuk mengatasi permasalahan tersebut di antaranya
dengan mengembangkan pembuatan media pembelajaran oleh guru yang disesuaikan
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.
Tersedianya perangkat pembelajaran merupakan salah satu faktor yang dapat
menunjang proses pembelajaran berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur (1999), bahwa perangkat pembelajaran
memberikan kemudahan dan dapat membantu guru dalam mempersiapkan dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Perangkat ini menyediakan sejumlah
strategi untuk mendorong siswa menggunakan gaya-gaya belajar berbeda. Sehingga
dengan perencanaan yang seksama, kebutuhan untuk seluruh siswa dapat dipenuhi dalam
kelas.
Pola pengajaran seperti yang telah diuraikan di atas, menjadi salah satu penyebab
rendahnya motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah di Madrasah tsanawiyah. Harus
disadari bahwa banyak parameter yang mempengaruhi motivasi belajar, seperti;
intelegensi siswa, ketersediaan sarana dan prasarana belajar, latar belakang pendidikan
guru, kemampuan guru dalam mengorganisasikan pembelajaran, dan lain sebagainya.
Tetapi yang sangat penting dilakukan sekarang ini adalah mengembangkan perangkat
pembelajaran melalui pembuatan media pembelajaran , sekaligus melatihkan kepada
guru suatu model pembelajaran yang diharapkan bisa mewujudkan tujuan tersebut.
Tugas guru tidak hanya sekedar mengupayakan para siswanya untuk memperoleh
berbagai pengetahuan produk dan keterampilan. Lebih dari itu, guru harus dapat
mendorong siswa untuk dapat bekerja secara kelompok dalam rangka menumbuhkan
daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas, terbuka, dan ingin tahu. Oleh
sebab itu dalam kegiatan belajar mengajar perlu dikembangkan pengalaman-pengalaman
belajar melalui pendekatan dan inovasi pembuatan media pembelajaran serta dikaikan
dengan model-model pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran IPS khususnya diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong
siswa belajar secara aktif, baik fisik, mental-intelektual, maupun sosial (kelompok)
untuk memahami konsep-konsep sosial, sehingga dalam menghadapi kehidupannya
mapu berinteraksi secara baik. Dalam mengembangkan pembelajaran IPS di kelas,
yang diharapkan adalah keterlibatan aktif seluruh siswa dalam kegiatan pembelajaran,
yaitu kemampuan untuk menarik konklusi (kesimpulan) yang tepat dari bukti-bukti
yang ada.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman penulis, bahwa dalam kegiatan belajar
mengajar IPS selama ini sebenarnya guru bidang studi IPS sudah menerapkan
pembelajaran berkelompok untuk menyampaikan konsep-konsep IPS. Beberapa tugas
yang harus dikerjakan siswa secara kelompok seperti membuat kronologis sejarah dan
menjelaskan setiap peristiwa dengan metode diskusi, membuat menganalisis peta,
membuat alur kebutuhan manusia pada bidang studi geografi, serta membuat kesimpulan
tentang masalah interaksi sosial, serta tugas mengerjakan lembar kerja siswa (LKS)
secara individu maupun kelompok, dan masih banyak lagi tugas lainnya. Tetapi kalau
dicermati, kegiatan kelompok tersebut bukan pembelajaran kooperatif. Tujuan dan kerja
kelompok hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar mengajar tersebut biasanya hanya
didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang
berperan dalam mengerjakan tugas kelompok. Di samping itu juga siswa tidak dilatihkan
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain. Akibat cara
kerja kelompok seperti ini menyebabkan siswa yang kurang minatnya dan motivasinya
rendah akan semakin bosan dan pada akhirnya memperoleh hasil belajar IPS yang tetap
rendah dan adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang
motivasinya tinggi dengan hasil belajar siswa yang kurang motivasinya rendah.
Pada mata pelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah materi IPS dapat dikatakan
sebagai materi yang sangat padat meliputi empat mata pelajaran yang meliputi geografi,
sejarah, sosiologi, ekonomi, dimana tiap-tiap mata pelajaran terdiri lagi materi serta
submateri ,hal ini masih ditambah kendala minimnya waktu pertemuan dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar dikelas yaitu rata-rata 6 x 40 menit tiap minggunya.
Dengan demikian, pembelajaran yang mungkin dilakukan adalah pembelajaran yang
berorientasi kepada siswa dengan memberikan suatu strategi yang tepat pada pelaksanaan
pembelajaran. Ada dua model utama untuk mengajarkan strategi-strategi belajar. Model itu
adalah model pengajaran langsung (direct instruction) dan pengajaran terbalik (reciprocal
teaching) (Arends, 1997:265).
Penggunaan strategi-strategi belajar secara efektif memerlukan pengetahuan deklaratif
dan prosedural (arends, 1997: 265). Pengetahuan deklaratif tentang strategi-strategi tertentu
termasuk bagaimana strategi itu didefinisikan, mengapa strategi itu berhasil, dan bagaimana
strategi itu serupa atau berbeda dari strategi-strategi yang lain. Siswa juga memerlukan
pengetahuan prosedural sehingga mereka dapat menggunakan berbagai macam strategi secara
efektif.
Dari uraian di atas, perlu untuk melakukan penelitian dengan mengembangkan perangkat
pembelajaran melalui pembuatan media pembelajaran sederhana sebagai salah satu altematif
dalam mengatasi permasalahan kualitas pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah di Jawa
Timur. Penelitian ini berjudul
“HUBUNGAN PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP PENINGKATAN
PROFESIONAL MENGAJAR GURU IPS PADA DIKLAT GURU IPS MTS DI JAWA
TIMUR”
Pada dasarnya penelitian yang dilakukan ini adalah mengembangkan perangkat
pembelajaran yang berorientasi pada pembuatan media pembelajaran secara sederhana dan
dikaitkan dengan model pembelajaran kooperatif.
1.1 Rumusan Masalah
Bertolak dari permasalahan pada latar belakang di atas, dapat di tarik rumusan masalah
sebagai berikut :
Apakah ada hubungan pembuatan media pembelajaran dapat meningkatkan
profesional mengajar guru IPS pada Madrasah Tsanawiyah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada tujuan yang diharapkan yaitu :
Untuk mengetahui apakah ada hubungan pembuatan media pembelajaran dapat
meningkatkan profesional mengajar guru IPS pada Madrasah Tsanawiyah.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan informasi dan temuan yang lebih
mendalam, terutama yang berhubungan dengan kualitas pembelajaran IPS. Tentu saja,
diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh subjek yang berkompeten dalam
memajukan kualitas belajar terutama dalam proses belajar mengajar dikelas khususnya guruguru
yang berada dalam lingkungan Madrasah Tsanawiyah dibawah Kementerian Agama.
Temuan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. Pusdiklat dan Balai Diklat Keagamaan Surabaya dengan harapan dapat mengetahui hasil
yang diperoleh peserta diklat khususnya masalah kualitas dalam proses pembelajaran
yang nantinya bisa dijadikan sebagai pijakan penentuan diklat kedepan.
2. Widyaiswara dengan harapan dapat dijadikan pijakan didalam pemberian sajian materi
diklat serta bisa pengembangan penelitian yang relevan.
3. Peserta diklat atau Guru dengan harapan bisa mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran
yang nantinya akan menciptakan proses belajar mengajar lebih baik dan lebih sempurna
dalam membangun pribadi siswa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakekat Belajar Mengajar
Belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan pada individu karena pengalaman.
Menurut Sardiman (1990:23) belajar merupakan serangkaian kegiatan jiwa-raga, psiko-fisik
untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya. Sedangkan Susanto (1999:1)
mendefinisikan belajar sebagai proses dimana otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap
kondisi-kondisi luar dari reaksi itu dapat dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman yang
dialami sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam belajar dibutuhkan
kekaktifan untuk mencapai suatu tujuan pengajaran. Keaktifan tidak hanya dituntut dari segi
fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Jika hanya fisik yang aktif, tetapi pikiran juga mental kurang
aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai (Djamarah, 1996:44). Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu kegiatan yang melibatkan jiwaraga,
mental dan fisik dari seseorang dengan disertai keaktifan dan tanggung jawab, dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar (Sardiman,
1990:47). Sejalan dengan pernyataan Sardiman, Susanto (1999:1) menyatakan bahwa pengajaran
merupakan upaya yang dilakukan untuk membuat lingkungan sedemikian rupa agar proses
belajar efektif. Jadi dapat dikatakan, mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang
kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Kondisi ini diciptakan
sedemikian rupa sehingga membantu perkembangan anak secara optimal, baik jasmani maupun
rohani, fisik maupun mental.
Sardiman (1990:48) menyatakan bahwa fungsi pokok dalam mengajar adalah
menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak melakukan kegiatan
adalah siswanya dalam menemukan dan memecahkan masalah. Dalam hal ini guru hanya
sebagai fasilitator saja, sedang siswa bertindak sebagai pelaksana sekaligus sebagai penentu
keberhasilan utama untuk mencapai tujuan bersama dalam pembelajaran. Oleh karena itu peran
guru dalam menyediakan sarana, suasana dan kondisi pembelajaran bagi anak didik juga mutlak
diperlukan karena dengan adanya peran guru yang optimal maka diharapkan peran siswa juga
optimal.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat belajar mengajar
adalah segala perubahan pada diri seseorang, baik jiwa dan raga, fisik dan mental, jasmani
maupun rohani, supaya proses belajar mengajar berlangsung efektif. Dalam belajar mengajar,
tanggung jawab semua komponen sangat diperlukan, baik dari guru, siswa, instansi sekolah
maupun orang tua. Selain itu penyediaan kondisi dan suasana belajar yang kondusif mutlak
diperlukan dalam proses mengajar supaya peserta menjadi semangat dalam belajar.
1.1.1 Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental (Sardiman, 1998:98).
Jadi aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat fisik maupun mental.
Dalam proses pembelajaran terdapat suatu aktivitas belajar. Dalam suatu pembelajaran, selain
terdapat aktivitas siswa, juga terdapat suatu proses belajar mengajar. Proses belajar tersebut
merupakan serangkaian kegiatan belajar yang melibatkan siswa, guru, media, materi pelajaran
dan lingkungan. Apabila seorang guru mampu menyediakan suasana pembelajaran yang menarik
maka proses belajar siswa juga akan berjalan lancar. Masing-masing siswa akan semakin aktif
dan tujuan pembelajaran akan dapat cepat tercapai.
Pada prinsipnya belajar adalah suatu kegiatan untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada
belajar kalau tidak ada aktivitas (Sardiman, 1990:94). Dalam kegiatan belajar mengajar, aktivitas
siswa sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran sangat diperlukan, sebab belajar
adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Guru
hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar berlangsung
dengan baik (Suparno, 1997:65). Hal tersebut berarti bahwa dalam pembelajaran diperlukan
keterlibatan siswa dan guru secara aktif baik fisik maupun mental. Keseimbangan antara
aktivitas fisik atau jasmani dan mental/rohani merupakan faktor penting dalam peningkatan hasil
belajar.
Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian di sekolah
merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan
oleh siswa di sekolah. Proses belajar siswa tidak cukup hanya dengan mendengarkan dan
mencatat seperti yang umum terdapat di sekolah-sekolah tradisional.
Sardiman (1990:99) menggolongkan kegiatan proses siswa, antara lain sebagai berikut:
1. Visual activities. Yang termasuk di dalamnya misalnya: membaca, memperhatikan
gambar demonstrasi, percobaan.
2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, sebagai contoh, mendengarkan: uraian, percakapan diskusi, musik
dan pidato.
4. Writing activities, contoh: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6. Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan,
membuat konstruksi, bermain, berkebun, beternak.
7. Mental activities, misalnya: berminat, merasa bosan, gembira, bersemangat, berani,
tenang, gugup.
Jadi dengan klasifikasi aktivitas seperti uraian di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di
sekolah itu cukup kompleks dan bervariasi. Jika berbagai macam kegiatan tersebut dapat
diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah itu akan lebih dinamis, tidak membosankan dan
benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal. Sehingga ini semua merupakan
tantangan yang menuntut jawaban dari para guru. Kreativitas guru mutlak diperlukan agar dapat
merencanakan kegiatan siswa yang sangat bervariasi.
Pada hakikatnya dapat disimpulkan bahwa proses belajar siswa adalah segala kegiatan
yang dilaksanakan siswa mulai dari pelajaran dimulai sampai pelajaran diakhiri. Proses belajar
dikelas harus melibatkan seluruh aspek pembelajaran, diantaranya adalah guru, kepala sekolah,
komite sekolah, lingkungan dan lain-lain. Selain itu sarana dan prasarana pembelajaran mutlak
diperlukan supaya pembelajran berlangsung efektif dan efisien.
1.1.2 Pembelajaran Kontekstual
Susanto (2004:4-5) menyatakan bahwa selaras dengan arah pembaharuan pendidikan
dalam kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), ada tiga hal pokok yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan program dan pelaksanaan
pembelajaran sains, yaitu:
a) Pembelajaran seharusnya menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup secara luas, bukan
sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan semata.
b) Proses pembelajaran adalah penyediaan pengalaman belajar kepada siswa untuk membangun
sendiri kompetensi-kompetensi yang mendukung tercapainya penguasaan kecakapan hidup.
c) Pembelajaran dirancang agar siswa mengekplorasi isu-isu “salingtemas” di lingkungan
kehidupan nyata.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, implementasi pembelajaran sains dapat menggunakan
pendekatan dan metode pembelajaran yang pada akhir-akhir ini sangat “populer” yaitu
pembelajaran konstruktivis dan pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran karena
pembelajaran itu memandang bahwa siswa belajar untuk membangun kecakapannya dalam
konteks kehidupan nyata. Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka dalam
anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi dkk. 2004 :4). Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Pembelajaran konstruktivis memandang siswa
sebagai insan yang mampu dan sedang membangun sendiri perilaku-perilaku belajarnya.
Pembelajaran konstruktivis menyarankan agar dalam proses pembelajaran siswa membangun
sendri konsep pengetahuan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman awal (prior knowledge)
yang telah dimiliki. Bila diartikan lebih luas sesuai dengan konsep pendidikan kecakapan hidup,
pembelajaran konstruktivis ini mempunyai makna bahwa dalam proses belajar siswa diberi
fasilitas untuk membangun sendiri kecakapan-kecakapan hidup (Susanto, 2004:5-6).
Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pembelajaran konstruktivisme dan pembelajaran
kontekstual, jika keduanya digunakan sebagai pendekatan dan metodologi dalam suatu
pembelajaran sains, maka pembelajaran sains tersebut dapat menjiwai ciri-ciri pembelajaran
yang dikehendaki dalam kurikulum berbasis kompetensi. Dengan dasar itu, pembelajaran
dikemas dalam proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Siswa menjadi pusat
kegiatan, bukan guru. Untuk itu, tugas guru dalam memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1)
menjadikan pengetahuan yang bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan siswa
menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyandarkan siswa agar menerapkan
strategi mereka sendiri dalam belajar. Hal inilah yang membedakan dengan pembelajaran
tradisional yang berpijak pada pandangan behaviorisme.
Corebima (2002:41) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pembelajaran lainnya karena proses pembelajaran berlangsung atas dasar
permasalahan riil dunia, sehingga lebih bermakna dan memungkinkan perkembangan pemikiran
tingkat tinggi, serta memberi kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya. Oleh karena itu, model pembelajaran sains yang perlu dikembangkan harus
mengandung prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual. Beberapa prinsip yang harus dipegang
oleh guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual itu disebutkan oleh Susanto (2004:7-8)
sebagai berikut.
a. Konstruktivis (Constructivist). Dalam pembelajaran konstruktivis siswa menyusun atau
membangun sendiri pengertian dan pemahamannya dari pengalaman baru yang didasarkan
pada pengetahuan dan keyakiann awal yang telah dimilikinya.
b. Bertanya (Questioning). Dalam model pembelajaran sejarah yang berbasis kontekstual siswa
perlu diberi fasilitas untuk mengemukakan pertanyaan berdasarkan masalah yang ditemukan.
Masalah dapat dikemukakan oleh guru jika siswa kesulitan untuk menemukan sendiri.
c. Inquiry (inquiry). Dalam model pembelajaran sains berbasis kontekstual kegiatan belajar
siswa melalui proses inquiring, yaitu: proses-penemuan masalah-penarikan hipotesispengumpulan
dan pencatatan data-analisis data-penarikan kesimpulan.
d. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Dalam model pembelajaran kontekstual
siswa perlu diatur sehingga antar sesama dapat bekerja sama secara kooperatif, artinya siswa
tidak hanya bekerja dalam kelompok tetapi juga setiap anggota kelompok bertanggung jawab
atas keberhasilan belajar semua anggota kelompok.
e. Refleksi. Dalam pembelajaran konstruktivisme masalah dan hipotesis (dari proses inquiring)
yang diajukan oleh siswa pada tahap eksplorasi merupakan pengetahuan atau konsep awal
siswa. Ketika siswa sudah menemukan konsep pada tahap eksplanasi, siswa perlu diajak
merefleksi konsep awal terhadap konsep yang berhasil dibangun sendiri.
f. Pemodelan (modelling). Dalam model pembelajaran sains yang berbasis kontekstual guru
merupakan model, yaitu model mengenai kecakapan dan keterampilan yang perlu dikuasai
siswa. Kecakapan yang dibelajarkan sebaiknya dimodelkan, bukan hanya diberitahukan,
dijelaskan, atau diperintahkan. Dalam pembelajaran kooperatif, pemodelan bukan hanya dari
guru, melainkan juga dari siswa lain yang menjadi teman sebaya.
g. Asessmen autentik (Authentic assessment). Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian
belajar ditujukan pada kecakapan otentik yang diperoleh dalam pembelajaran, yaitu
kecakapan yang dapat diamati dalam situasi nyata dan berada dalam pengalaman langsung
siswa. Penilaian belajar diusahakan tidak hanya dengan “paper and pencil test”, melainkan
juga dengan “hands-on evaluation technique” yaitu dengan menampilkan benda atau
kejadian asli. Salah satu elemen penting dalam pembelajaran kontekstual adalah bertanya
(questioning). Corebima (2004:18) menyatakan bahwa dalam pembelajaran produktif,
kegiatan bertanya berguna untuk mengecek pemahaman siswa dan membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa. Bertanya tentu tidak sekedar bertanya, tetapi melibatkan
pikiran. Oleh karena itu, kualitas dan tipe pertanyaan dalam pembelajaran perlu mendapat
perhatian untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
Selain aspek pendekatan pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran juga sangat
menentukan kualitas pengajaran dalam proses belajar mengajar. Hal ini berarti bahwa untuk
mencapai kualitas pengajaran yang tinggi setiap mata pelajaran, khususnya biologi, harus
diorganisasikan dengan metode pembelajaran yang tepat dan selanjutnya disampaikan pada
siswa dengan metode yang tepat pula.
Menurut teori Jim, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah
bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar secara
sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada
siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa siswa akan pemahaman yang lebih
tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran sejarah, yaitu Teori Perkembangan Kognitif Piaget, dan
Teori Perkembangan Mental Vygotsky.
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget adalah salah satu pioner yang menggunakan filsafat konstruktivis dalam
proses belajar. Piaget menyatakan bahwa anak membangun sendiri skemanya serta
membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya. Piaget membedakan
perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2)
taraf pra-operasional, (3) taraf operasional konkrit, dan (4) taraf operasional formal.
Walaupun ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget
mengasumsikan bahwa selunrh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang
sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungan. Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat persamaan yaitu terletak
pada peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya (Woolfolk, 1993) dan
membantu siswa menghubungkan antara apa yang sudah diketahui siswa dengan apa yang
sedang dan akan dipelajari (Abruscato, 1999). Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran
diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan
pengalaman-pengalarnan nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang
lain serta peranan guru sebagai fasilitator yang rnempersiapkan lingkungan dan
memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.
Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut (Slavin,
1994):
a. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengalamanpengalaman
belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap
fungsi kognitif dan Inanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang
digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan
guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif
dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran
pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan
anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan
dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru
mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa selumh siswa tumbuh dan
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung
pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan upaya untuk
mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran khas
menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
2. Teori Perkembangan Fungsi Mental Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan,
yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah kopi dari apa yang mereka temukan di dalam
lingkungan, tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri, melalui bahasa.
Meskipun kedua ahli memperhatikan pertumbuhan pengetahuan dan pemahaman anak
tentang dunia sekitar, Piaget lebih memberikan tekanan pada proses mental anak dan
Vygotsky lebih menekankan pada peran pengajaran dan interaksi sosial pada
perkembangan IPA dan pengetahuan lain (Howe & Jones, 1993).
Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep
zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin bahwa
pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugastugas
itu berada dalam zone of proximal development. ZPD adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky lebih
yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam kerjasama
atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam
individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep Scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1994).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe &. Jones,
1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar
siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling
memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing
ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding,
dengan semakin lama siswa semakin bertanggungjawab terhadap pembelajaran sendiri.
Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok
sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam
kegiatan pembelajaran.
2.1.3 Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivis
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi
pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu (Abmscato,
1999). Persepsi yang dimiliki oleh siswa mempengaruhi pembentukan persepsi baru. Siswa
menginterpretasi pengalaman baru dan memperoleh pengetahuan baru berdasar realitas
yang telah terbentuk di dalam pikiran siswa.
Konstruktivisme yang berakar pada prsikologi kognitif, menjelaskan bahwa siswa
belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran utama guru adalah
membantu siswa membentuk hubungan antara apa yang dipelajari dan apa yang sudah
diketahui siswa. Bila prinsip-prinsip konstruktivisme benar-benar digunakan di ruang
kelas, maka guru harus mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini siswa sebelum
memulai unit pelajaran baru.
Ada tiga prinsip yang menggambarkan konstruktivisme (Abruscato, 1999);
1. seseorang tidak pernah benar-benar memahami dunia sebagaimana adanya karena
tiap orang membentuk keyakinan atas apa yang sebenarnya,
2. keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang menyaring atau mengubah
informasi yang diterima seseorang,
3. siswa membentuk suatu realitas berdasar pada keyakinan yang dimiliki,
kemampuan untuk bernalar, dan kemauan siswa untuk memadukan apa yang
mereka yakini dengan apa yang benar-benar mereka amati.
2.1.4 Pembelajaran Kooperatif
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam pernbelajaran kooperatif adalah sebagai berikut
(Lungdren, 1994) :
Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka "tenggelam atau berenang
bersama".
Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain
dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota
kelompok.
Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.
Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan
bekerja sama selama belajar.
Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling
membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6
orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah
terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat
untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar
belakangmya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar
dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar
yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah ;
setiap anggota memiliki peran,
terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa
setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas belajarnya dan juga temanteman
sekelompoknya,
guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal
kelompok,
guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif
sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika
kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok
didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam
menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu,
dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas
anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk
menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman
sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup
nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari
yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang
berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk
berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh lbrahim, et al.
(2000), yaitu :
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalarn membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping
rnengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dan
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuarmya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial,
penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam
keterampilan sosial.
Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja,
tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilanketerampilan
khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan
kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan
hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok
selarna kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara
lain sebagai berikut (Lungdren, 1994):
a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
o Menggunakan kesepakatan
Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah
menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja
dalam kelompok.
o Menghargai kontribusi
Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat
dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju
dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap
ide dan tidak individu.
o Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok
bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab
tertentu dalam kelompok.
o Berada dalam kelompok
Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja
selama kegiatan berlangsung.
o Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu
yang dibutuhkan.
o Mendorong partisipasi
Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok
untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
o Mengundang orang lain
Maksudnya adalah meininta orang lain untuk berbicara dan
berpartisipasi terhadap tugas.
o Menyelesaikan tugas dalam waktunya
o Menghormati perbedaan individu
Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati
terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dan semua siswa atau peserta
didik.
b. Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan
simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan
dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan
mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran
kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada tabel
2.1
Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah laku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompokkelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu
setiapkelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase 4:
Membimbing
Kelompok bekerja dan
belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
Fase 5:
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing
kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Fase 6:
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai,
baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
(Arends, 1997)
Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends,
1997). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan
tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini
diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal.
Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru
bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung.
Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir
kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan
kelompok dan usaha-usaha individu.
1.2 Media (Alat Bantu) dalam pembelajaran
Bahan pengajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta,
konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum
dan dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Metodologi pengajaran adalah
metode dan teknik yang digunakan dalam melakukan interaksinya dengan siswa agar
bahan pengajaran sampai kepaad siswa, sehingga siswa menguasai tujuan pengajaran.
Dalam metodologi ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode mengajar
dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalah alat
untuk mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya suatu tujuan pengajaran.
Pola pembelajaran yang memanfaatkan media pembelajaran yang memanfaatkan
media pembelajaran sebagai sumber – sumber di samping guru dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pola pembelajaran dibantu media (Arifin,2000)
Salah satu gambar yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori
penggunaan media dalam proses belajar adalah Dale’s Cone of Experience (Kerucut
Pengalaman dale). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tigkatan
pengalaman yang dikemukakan oleh bruner. Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari
pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang
kemudian melalui benda tiruan sampai kepada lambing verbal (abstrak). Semakin diatas
puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Perlu dicatat bahwa urut –
urutan ini tidak berarti prosesw belajar dan interaksi mengajar belajar harus selalu dimulai
dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi mempertimbangkan
situasi belajarnya.
Tujuan Penetapan Isi
dan Metoda
Guru dengan
Media
Siswa
1.3 Pendidikan dan Pembelajaran IPS
Banyak pendidik dan ahli berpendapat bahwa IPS harus diajarkan di sekolah.
Mengapa IPS perlu diajarkan. Van der Meulen menyatakan, tercantumnya IPS dalam
kurikulum sekolah dimaksukan terutama untuk membangun kepribadian dan sikap mental
siswa. Dari khasanah IPS, siswa dan guru dapat menggali dan mengaktualisasikan nilainilai
edukatif dan inspiratif yang terkandung didalamnya. Jadi IPS diajarkan untuk
menjadikan maanak didik bisa mensikapi kehidupan yang ada di masyarakat.
IPS membangkitkan keinsyafan akan suatu dimensi yang amat fundamentaldalam
eksisteni masyarakat, yaitu gerakan dan peralihan terus menerus dari yang lalu kearah
depan artinya dalam kehidupan manusia :
Hanya ada selama ia bergerak kedepan.
Pada masa kini dan kedepan selalu merupakan penerusan warisan nenek moyangnya
dalam bentuk perubahan, pembaharuan, peralihan, perpaduan warisan nenek moyang
dan ciptaan kini.
IPS berguna bagi kita, karena memberi pengertian bahwa perubahan
adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, karena itu kita harus senantiasa belajar menyesuaikan
dengan keadaan yang erubah-ubah. Kita harus selalu terbuka bagi perubahan yang kian hari kian
cepat terdapat dalam berbagi aspek kehidupan.
Beberapa ungkapan nilai edukasi, instruksi dan inspirasi dalam IPS menunjukkan bahwa
IPS sebagai sarana pendidikan dalam konteks IPS sebagai mata pelajaran disekolah-sekolah,
maka tujuan dan substansinya disesuaikan dengan segi-segi normatif yang dikandung oleh
tujuan pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan nasional. Mata pelajaran IPS diharapkan
kontribusinya bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional, melalui capaian tujuan pembelajaran
sesuai standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Eksistensi orientasi pembelajaran IPS sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan
kreatifitas pengajarnya. Guru yang tidak disiapkan secara khusus dan mendalam, hanya
akan mampu menyajikan pelajaran IPS secara “dekte” dan monoton. Padahal sejarah dan
pembelajaran IPS merupakan usaha menghidupkan kembali masa lampau melalui
penggunaan strategi dan metode yang mendorong siswa berfikir kritis kesejarahan. Guru
IPS perlu mantap menguasai dan menuntun siswa bertalian dengan kaidah-kaidah
keilmuan IPS. Jadi guru harus memiliki bekal memadai mengenai metodologi dan filsafat
IPS yang menyangkut kerja IPS , serta menguasai metodologi pembelajaran menyangkut
penyampaian pengetahuan IPS (transfering knowledge).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pembuatan media
pembelajaran pada pelaksanaan diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis
Keagamaan Surabaya Jawa Timur dapat mengoptimalkan kualitas pembelajaran sejarah
khususnya di Madrasah Tsanawiyah se-jawa Timur. Dalam pembelajaran dikelas tidak
terlepas dari strategi, pendekatan maupun model pembelajaran yang mengarah kepada
perangkat dalam media pembelajaran, sehingga diharapkan setelah menerima materi diklat
IPS tingkat dasar ada perubahan dalam kualitas Pembelajaran IPS ditempat kerja, sehingga
dari sini akan terlihat peran Balai Diklat dalam proses pembelajaran pada pelaksanaan
diklat.
Pengukuran terhadap optimalisasi kualitas pembelajaran sejarah kepada peserta
diklat guru bidang studi sejarah pada Madrasah Tsanawiyah (MTs) dapat dilihat dari
perbandingan nilai pre-tes micro teaching dengan nilai akhir post-tes micro teaching serta
dengan memberikan lembar pertanyaan terbuka .
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung,
ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari
semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya,
sedangkan sampel yaitu bagian yang diambil dari populasi ( sudjana 1996:6).
Penelitian ini menggunakan teknik random sampling, jadi setiap anggota populasi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampling ( Hadi ; 1997:75).
Tentang besarnya sampel penelitian, bila subyeknya kurang dari 100 diambil semua, dan
jika subyeknya besar diambil 10% - 15%, 20% - 25 % atau lebih (Arikunto 1989 : 07).
Menurut data statistik yang ada pada Balai Diklat tenaga Teknis Keagamaan
Surabaya, jumlah peserta diklat guru-guru IPS MTs se-Jawa timur tahun 2012 berjumlah
30 orang.
3.2.2. Sampel penelitian
Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah guru-guru peserta Diklat IPS
Madrasah Tsanawiyah se jawa Timur tahun 2012 yang berjumlah 30 orang baik dari
Madrasah Tsanawiyah Negeri maupun Madrasah Tsanawiyah swasta.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Menurut M. Zaini, instrumen penelitian adalah alat ukur variabel yang digunakan untuk
mengumpulkan data dilapangan. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan sebagai
berikut :
1. Angket
Angket digunakan untuk mengukur variabel bebas (X) yaitu tentang pembuatan media
pembelajaran sederhana oleh guru sejarah, juga untuk mengukur variabel terikat (Y) yaitu
optimalisasi kualitas Pembelajaran Sejarah kepada sampel yang telah ditentukan.
2. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengukur variabel terikat (Y) yaitu optimalisasi kualitas
Pembelajaran Sejarah, dengan membandingkan nilai pre-tes micro teaching dan post-tes
microteaching pada peserta guru Sejarah.
3.4 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis regresi dengan bantuan
program SPSS for Windows versi 11.5. Untuk pengujian hipotesis menggunakan uji t
dengan bantuan program SPSS for Windows versi 11.5. dengan uji anova satu jalur.
1.5 Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2011 bersamaan
dilaksanakannya diklat guru sejarah Madrasah Tsanawiyah .
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2001. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Arikunto, S. 1991. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Corebima, AD. 2002. Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional.
Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. 1993. Garis-garis Besar Program Pengajaran Sekolah Menengah Umum.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ibrahim, M., Fida R., Nur, M. dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif Surabaya:
Unesa Press.
Karim, 2000. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbarrg
Diknas.
Marjohari. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Bandung: ITB Bandung.
Nur, M. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya : Program Pascasarjana. IKIP Surabaya.
Nur, M. 1999. Pengantar pada Pengajaran dan Pengelolaan Kelas. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Nur, M. 2000. Strategi-strategi Belajar. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.
Rusyan, T. Atang K dan Zainal A. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung
: Remaja Karya Bandung.
Slavin. 1995. Cooperative Leaming Theory. Second Edition. Massachusetts: Allyn and
Bacon Publisher.
Slavin. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Needham Heights: Allyn R:
Bacon.
Supamo, P, 1997. Filsafat Konstruktivis dalam Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Sulo, La Sl. Et. Al. 1985. Pengajaran Mikro. Jakarta: Proyek PPTK Ditjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud.
Suryo, Joko. 1991. Pengembangan kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA. Malang; IKIP
Malang.
Tilaar, H. 1997. "Paradigma Baru Pendidikan Nasional". Editor: All Saukah. Jurnal llmu
Pendidikan, Jilid 7 Desember 1997. Jakarta: LPTK & ISPI.
Winkel, W.S. 1989. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
LABORATORIUM : Perspektif Teknologi Pembelajaran
Oleh: Mustaji, Teknolog Pembelajaran
Disajikan Dalam Workshop Penyusunan Panduan Penggunaan
Laboratorium
Di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
Rabu, 23 Desember 2009
Prof. Dr. Mustaji, M.Pd.A. Pengertian
Dalam dunia pendidikan disadari perlunya menghubungkan
antara teori dan praktek. Prinsip-prinsip akan dikaji dalam praktek. Apa yang
terdapat dalam pengalaman praktek dicari dasar-dasarnya dalam teori, dalam
prinsip-prinsip. Hubungan antara teori dan praktek seyoginya bersifat
berlapis-lapis yang integratif, di mana teori dan praktek secara bergantian dan
bertahap saling isi mengisi, saling mencari dasar, dan saling mengkaji.
Sehubungan kaitan antara teori dan praktek inilah laboratorium dan fasilitas
lain dalam proses belajar-mengajar patut mendapat perhatian. Di laboratorium
berlangsung kegiatan kerja laboratorium (laboratory work).
Laboratorium ialah tempat untuk melatih mahasiswa dalam hal
keterampilan melakukan praktek, demonstrasi, percobaan, penelitian, dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Laboratorium yang dimaksud di sini tidak hanya
berarti ruangan atau bangunan yang dipergunakan untuk percobaan ilmiah,
misalnya dalam bidang sains (science), biologi, kimia, fisika, teknik, dan
sebagainya; melainkan juga termasuk tempat aktivitas ilmiahnya sendiri baik
berupa percobaan/eksperimen, penelitian/riset, observasi, demontrasi yang
terkait dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan kata lain “laborary work”
adalah kegiatan (kerja) ilmiah dalam suatu tempat yang dilakukan oleh mahasiswa
atau guru/dosen atau pihak lain, baik berupa praktikum, observasi, penelitian,
demonstrasi dan pengembangan model-model pembelajaran yang dilakukan dalam
rangka kegiatan belajar-mengajar.
Jadi pengertian laboratorium tidak hanya termasuk di
dalamnya gedung atau ruang dan peralatannya, seperti misalnya laboratorium
kimia, fisika, teknik, dan sebagainya. Akan tetapi pengertian laboratorium
termasuk juga sekolah/kelas dan bahkan masyarakat sendiri. Lembaga
kemasyarakatan, alam sekitar juga merupakan laboratorium. Ia merupakan sumber
belajar dan media dalam proses belajar-mengajar yang tidak akan habis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut
“laborary work” adalah kegiatan kerja ilmiah yang dilakukan dalam sebuah
laboratorium. Untuk memberikan pemahaman yang sistemik berikut beberapa
pengertian laboratorium yang dapat diartikan dalam bermacam-macam segi :
Laboratorium dapat
merupakan wadah yaitu tempat, gedung, ruang dan segala macam alat/perlengkapan
yang diperlukan untuk kegiatan ilmiah. Dalam hal ini laboratorium dilihat
sebagai perangkat keras (hardware).
Laboratorium dapat
merupakan sarana media di mana dilakukan kegiatan belajar-mengajar. Dalam
pengertian ini laboratorium dilihat sebagai perangkat lunak (software) dalam
kegiatan ilmiah.
Laboratorium dapat
diartikan sebagai pusat kegiatan ilmiah untuk menemukan kebenaran ilmiah dan
penerapannya.
Laboratorium dapat
diartikan sebagai pusat inovasi. Dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
sebuah laboratorium diadakanlah kegiatan ilmiah; eksperimentasi sehingga dapat
diperoleh temuan-temuan baru dalam bidang keilmuan yang membawa pembaharuan
baik itu berupa mesin-mesin, bahan-bahan baru, cara-cara kerja, dan sebagainya.
Dilihat dari segi
“clientele” maka laboratorium merupakan tempat di mana mahasiswa atau dosen
atau pihak lain melaksanakan kegiatan kerja ilmiah dalam rangka kegiatan
belajar-mengajar.
Dilihat dari segi
kerjanya laboratorium merupakan tempat di mana dilakukan kegiatan kerja untuk
menghasilkan sesuatu. Dalam hal demikian ini bidang teknik laboratorium dapat
diartikan sebagai bengkel kerja.
Dilihat dari segi
hasil yang diperoleh maka laboratorium dengan segala saran adan prasarana yang
dimiliki dapat merupakan dan berfungsi sebagai pusat sumber belajar (PSB).
B. Macam Laboratorium
Macam ragam laboratorium dapat dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi pendekatannya ada beberapa macam, yakni (1) Persobalized
Sytem of Instruction (PSI), (2) Audio Tutorial Method (A-T), (3) Computer
Assisted Learning (CAL), (4) Learning Aids Laboratory (LAL), (5) Modular
Laboratory (M-L), (6) Integrated Laboratory (IL), (7) Project Work, dan (8)
Participation in Research (PIR)
Personalized System of Instruction
“Personalized System of Instruction” (PSI) ditemukan oleh
Keller (1968) merupakan pendekatan baru dalam bidang pembelajaran. Oleh karena
itu PSI sering disebut “The Keller Plan”. Karakteristik dari PSI adalah sebagai
berikut :
Kemajuan mahasiswa
berdasarkan berdasar pada langkahnya sendiri, didasarkan pada irama kerjanya.
Ada yang cepat dan berinisiatif tinggi, ada yang sedang-sedang saja, dan ada
pula yang lamban dengan semboyan ”biar lambat asal selamat”.
Sebelum
mempelajari unit berikutnya, mahasiswa harus membuktikan terlebih dahulu
penguasaannya terhadap pembelajaran dan unit yang sudah dipelajarinya dengan
membuat satu atau beberapa tes.
Pelaksanaan
perkuliahan yang dijalankan lebih dianggap memberikan motivasi serta dapat
memberikan informasi atau tambahan pengetahuan.
Staf pengajar
bukan hanya dosen, tetapi juga mahasiswa senior yang berfungsi sebagai tutor.
Materi
pembelajaran dibagi dalam unit-unit yang masing-masing terdiri dari : (1)
pengantar, (2) tujuan pembelajaran, (3) kegiatan pembelajaran, dan (4)
serangkaian pertanyaan yang berfungsi untuk memperdalam materi yang telah
dipelajari
Apabila
seorang mahasiswa merasa sudah siap mempelajari unit selanjutnya yang
dibuktikan dengan kelulusan dari tes unit yang telah lalu, maka mahasiswa
tersebut dapat terus maju ke unit yang selanjutnya. Sebaliknya dengan kegagalan
menempuh tes unit yang lalu, maka terbukti masih adanya kekurangsiapan
mahasiswa tersebut untuk mengambil unit yang berikutnya. Akibatnya ialah
mahasiswa tersebut diwajibkan mempelajari kembali tes tersebut dengan bimbingan
tutor sebelum menempuh tes sekali lagi.
Ternyata
sistem tersebut di atas memakai “feedback mecanism” dalam arti hasil tes
seorang mahasiswa merupakan umpan balik sejauh mana mahasiswa sudah atau belum
memiliki pengusaan atas materi dari unit yang telah dipelajarinya.
Dilihat dari segi tujuan pembelajaran
dapat tersimpul karakteristiknya bahwa tujuan pembelajarannya bersifat
“behavioral”.
Biasanya
“Criterion Referenced Testing” yang dipakai untuk menilik penguasaan mahasiswa
atas bahan yang telah dipelajarinya.
Audio Tutorial Method
Pendekatan Audio Tutorial Method (A-T) ini semula
dikembangkan oleh Portlethwart (1969-1972) yang merupakan metode dalam
pembelajaran biologi di Purdue University. Materi atau bahan pembelajaran
dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian untuk satu minggu lamanya yang berisi teori
maupun praktek. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam kaset, di mana setiap
mahasiswa dengan manempati tempat yang tertentu (semacam “booth” dalam
laboratorium bahasa) belajar melalui kaset dengan peralatan laboratorium lain
yang tersedia.
Karakteristik dari pendekatan “Audio Tutorial Method” ini
adalah :
Pendekatan dengan
media “audio tutorial” ini dipakai untuk mengatasi besarnya kelas/jumlah
mahasiswa dengan memberikan bimbingan dalam pita kaset. Program belajar adalah
didasarkan pada irama kerja atau kecepatan maju mahasiswa sendiri
Dilihat dari segi
tertentu ceramah yang dikasetkan dalam bentuk program bimbingan bersifat
memberikan motivasi saja.
Diperlukan umpan
balik kerja mahasiswa untuk dapat mengetahui apakah mahasiswa tersebut dapat
melanjutkan belajarnya pada bagian yang berikut dengan menempuh serangkaian
tes.
Tujuan yang
diumumkan bersifat “behavioral”.
Dipakai “Criterion
Referenced Testing”.
Terdapat integrasi
antara teori dan praktek.
Dalam hal ini
kaset dapat digolongkan sebagai media.
Computer Assisted Learning
Istilah “Computer Assisted Learning (CAL)” sering dipakai di
kalangan buruh dalam kerajaan Inggris, sedang istilah lain dengan isi yang sama
adalah “Computer Assisted Learning (CAL)” yang sering dipakai di kalangan
guru-guru di Amerika Serikat. Komputer dalam pendekatan ini dipakai sebagai
sarana atau media belajar. Seringkali komputer untuk membuat model atau
simulasi suatu situasi atau suatu proses yang baik mungkin tersedia untuk
dipelajari mungkin karena mahalnya atau karena kelangkaannya, sehingga tidak
mungkin untuk memperoleh pengalaman langsung dari padanya. Perananan dosen
digantikan oleh komputer karena dapat mengisi kekurangan-kekurangan yang
terdapat pada guru/dosen tersebut.
Karakteristik dari “Computer Assisted Learning” sebagai
berikut :
Mahasiwa dapat belajar menurut irama kerjanya.
Diperlukan balikan
untuk memungkinkan segera mengetahui apakah seseorang memenuhi penguasaan atas
materi atau untuk menentukan dapat atau tidaknya belajar bagian yang
berikutnya.
Komputer berfungsi
sebagai tutor baik sebagai pemberi informasi, pemberi tugas, pemberi tes, dan
menilai hasil tes serta menentukan hasil yang dicapai oleh mahasiswa.
Selain sebagai
tutor, komputer juga berfungsi sebagai simulator, sebagai model yang memberikan
kepada mahasiswa fasilitas untuk berhitung simulasi, model-model, dan pemecahan
masalah.
Learning Aids Laborary
“Learning Aids Laborary (LAL)” dapat dirumuskan sebagai
pusat di mana mahasiswa terlibat dalam belajar secara individual dengan memakai
sarana atau peralatan yang ada dalam laboratorium, misalnya AVA, komputer,
pameran, percobaan sendiri atau studi referensi.
Keberhasilan belajar dengan pendekatan LAL ini sangat
tergantung pada motivasi mahasiswa itu sendiri, karena peralatan dalam
laboratorium, baik yang “hardware” maupun “software”nya tergantung pada niat,
kemampuan, dan irama kerja dari mahasiswa sendiri. Laboratorium di sini hanya
berfungsi sebagai media belajar-mengajar.
Karakteristik dari “Learning Aids Laborary” adalah :
Amat tergantung
dari irama kerja mahasiswa.
Dapat
membangkitkan minat dan perhatian mahasiswa.
Seperti kerja
laboratorium yang lain mahasiswa dapat menghubungkan dan mengintegrasikan
antara teori dan praktek.
Peralatan yang
tersedia dalam laboratorium berfungsi sebagai media.
Modular Laborary
Yang disebut dengan “Modular Laborary (M-L)” adalah
laboratorium, di mana mahasiswa, dosen atau orang lain dapat melakukan kegiatan
praktek (dalam arti belajar) dengan menggunakan modul-modul yang tersedia. Yang
dimaksud dengan modul adalah suatu unit yang berdiri sendiri dari rangkaian
suatu perencanaan yang berseri dalam kegiatan pelajaran yang direncanakan untuk
membantu mahasiswa dalam melaksanakan sesuatu hal yang tertentu akan lebih
obyektif. Sedangkan modul itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu paket kurikulum
yang disediakan untuk dapat dipakai belajar sendiri.
Penggunaan modul sebagi metode belajar-mengajar yang
bersifat inovatif antara lain dimaksudkan untuk mengatasi jumlah kelas yang
sulit diperhatikan perbedaan-perbedaan individual dari mahasiswa.
Karakteristik “Modular Laborary” sebagai suatu belajar-mengajar
antara lain adalah :
Sistem modul
memungkinkan mahasiswa belajar berdasarkaan irama kerja yang dimilikinya.
Menurut penguasaan
(mastery learning) atas apa yang telah dipelajarinya sebelum berpindah ke modul
yang lebih lanjut.
Dibutuhkan balikan
yang dapat menentukan apakah mahasiswa tersebut sudah siap mempelajari modul
berikutnya, yaitu berdasarkan hasil tes yang telah ditempuhnya.
Tujuan khusus
pembelajaran biasanya dirumuskan “behavioral”.
Terdapat
“Criterion Referenced Testing” untuk menentukan kesiapan mahasiswa mengambil
modul berikutnya.
Fungsi modul di
sini adalah sebagai media dalam proses belajar-mengajar.
Integrated Laborary
“Integrated Laborary (IL)” adalah laboratorium yang
terintegrasi berusaha mengintegrasikan, menyatakan disiplin yang terpisah-pisah
atau sub-sub disiplin ke dalam satu paket belajar dengan media laboratorium
yang terintegrasikan. Misalnya laboratorium kimia, fisika, dan biologi apalagi
disatukan dalam satu paket maka merupakan integrasi dari disiplin ilmu kimia,
ilmu fisika, dan ilmu hayat. Yang dipersatukan mungkin pula dalah sub disiplin
ilmunya, misalnya kesatuan program laboratorium untuk kimia organik, kimia
anorganik, kimia analitis, dan kimia fisis.
Contoh lain, Ilmu Pengetahuan Sosial amat dekat hubungannya
dengan Pendidikan Moral Pancasila. Oleh karenaya demi pemakaian laboratorium
yang berdayaguna dan berhasilguna maka “Integrated Laborary” untuk kedua
disiplin atau bidang studi tersebut amat bermanfaat.
Karakteristik IL adalah sebagai berikut :
Terdapat tumpang
tindih antar bidang studi (interdisciplinary overlap).
Terdapat tumpang
tindih dalam satu bidang studi (intradisciplinary overlap), misalnya
laboratorium kimia yang dipakai untuk kimia organik, biokimia, kimia analisis,
kimia fisis, dan sebagainya.
Terdapatnya
simulasi profesional (profesional simulation).
Pada karya dalam
arti penuh dengan kerja karena didisain untuk dipergunakan bekerja, belajar
dalam berbagai bidang studi, disiplin atau sub disiplin ilmu.
Project Work (Belajar dengan Bekerja)
Belajar dengan bekerja atau “Project Work” merupakan suatu
pengalaman belajar tersendiri, di mana mahasiswa dihadapakan kepada
masalah-masalah konkrit yang harus dipecahkan. Proyek di sini diartikan sebagai
suatu unit praktek dari suatu kegiatan yang memiliki nilai pendidikan untuk
menuju kepada satu atau lebih tujuan konkrit dalam hal penyelidikan dan
pemecahan masalah yang sering dipakai dalam penggunaan materi fisik,
direncanakan untuk disempurnakan oleh mahasiswa dan dosen dalam menuju suatu
kehidupan nyata yang wajar.
Dalam laboratorium “Project Work”, mahasiswa atas nasehat
dosen pembimbing memilih satu topik proyek. Atas dasar pilihan itu dipilih
kepustakaan untuk mendapatkan informasi. Informasi ini merupakan dasar penyusunan
rencana kerja untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu.
Barulah kemudian menyusul fase kerja lapangan, eksperimen dengan berbagai alat
yang tersedia atau bila perlu dibuat terlebih dahulu. Langkah-langkah yang
dilaksanakan dan masalah yang timbul serta hasil-hasil yang kerja ilmiah.
Selama proses berlangsung, pembimbing proyek memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang dihadapi.
Ada tiga tipe dalam “Project Work” , yakni (1) Proyek
dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan, (2)
Proyek dipakai sebagai alat untuk secara umum mengembangkan keterampilan dan
sikap, dan (3) Orientasi proyek di mana proyeknya sendiri merupakan penentu
utama dari isi pembelajaran.
Karakteristik daripada “Project Work” ini adalah :
Kemajuan mahasiswa
ditentukan oleh irama kerjanya.
Membutuhkan
pembimbing.
Tumpang tindih
antar bidang studi (interdisciplinary overlap).
Dapat pula terjadi
tumpang tindih dalam satu bidang satu bidang (intradisciplinary overlap).
“profesional
simulation”
Orientasinya pada
riset.
Topik dapat
dipilih sendiri oleh mahasiswa.
Merupakan rencana
untuk belajar yang di dalamnya terdapt pengalaman belajar.
Biasanya
dilaksanakan oleh mahasiswa dalam bentuk tim.
Participation in Research
Dalam model “Participation in Research (PIR)” mahasiswa ikut
serta dalam riset nyata yang sedang diadakan oleh fakultas atau lembaga lain,
misalnya Lembaga Penelitian, Lembaga Pengabdian pada masyarakat, dan
sebagainya. Riset yang sedang dilaksanakan itu merupakan laboratorium di mana
mahasiswa mendapatkan pengetahuan langsung, baik terori maupun praktek dari
pengalaman kerja dalam riset tersebut. Dalam riset inilah mahasiswa mempelajari
konsep yang dipadukan dalam praktek dalam kehidupan yang nyata.
Karakteristik dari pada “Participation in Research” ini
adalah :
Kemajuan mahasiswa
yang sejalan dengan irama kerjanya.
Tersedia tutor.
Terjadi tumpang
tindih dalam satu bidang studi (intradisciplinary overlap).
Simulasi
profesional.
Orientasi riset.
Rencana
kerja/aktivitas.
Biasanya
dilaksanakan dalam bentuk tim.
Di samping
macam-macam laboratorium yang didasarkan pada segi pendekatan, macam-macam
laboratorium dapat pula didasarkan pada bidang studi atau kelompok bidang
studi, yakni :
Laboratorium untuk
bidang scince, misalnya laboratorium IPA, laboratorium Matematika, dan
sebagainya.
Laboratorium untuk
bidang studi tertentu, misalnya laboratorium Bahasa, laboratorium PMP,
laboratorium IPS, dan sebagainya.
Untuk bidang
keguruan, misalnya PSB merupakan laboratorium di mana PSB dapat memberikan
fasilitas yang ada untuk mempelajari bidang ini, misalnya AVA untuk program
pembelajaran mikro. Sekolah Latihan dapat pula merupakan laboratorium keguruan,
dan sebagainya.
Untuk bidang
keterampilan, misalnya laboratorium Keterampilan PKK, Laboratorium Keterampilan
Jasa, laboratorium Keterampilan Kerajinan, dan laboratorium Keterampilan
Teknik.
Fungsi Laboratorium
Secara garis besar fungsi laboratorium adalah sebagai
berikut :
Memberikan
kelengkapan bagi pelajaran teori yang telah diterima sehingga antara teori dan
praktek bukan merupakan dua hal yang terpisah, melainkan dua hal yang merupakan
suatu kesatuan. Keduanya saling mengkaji dan saling mencari dasar.
Memberikan
keterampilan kerja ilmiah bagi mahasiswa.
Memberikan dan
memupuk keberanian untuk mencari hakekat kebenaran ilmiah dari sesuatu obyek
dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Menambah
keterampilan dalam mempergunakan alat media yang tersedia untuk mencari dan
menentukan kebenaran.
Memupuk rasa ingin
tahu mahasiswa sebagai modal sikap ilmiah seseorang calon ilmuwan.
Memupuk dan
membina rasa percaya diri sebagai keterampilan yang diperoleh, penemuan yang
didapat dalam proses kegiatan kerja di laboratorium.
Uraian manfaat kegiatan laboratorium tersebut dapat
dikaitkan dengan beberapa contoh manfaatnya dalam bidang studi tertentu. Di
bidang IPS, misalnya manfaat dari kegiatan laboratorium antara lain adalah: (1)
Menimbulkan gairah dan mendorong untuk belajar IPS, karena kegiatan
laboratorium tekanan diberikan pada aktivitas mahasiswa, (2) Lebih meragakan
konsep-konsep dan proses pembelajaran IPS, (3) Mendorong penggunaan proses
belajar-mengajar IPS yang bersifat multi media, (4) Membantu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan profesional calon guru IPS, (5)
Di bidang keterampilan, misalnya keterampilan teknik manfaat
dari kegiatan di laboratorium antara lain adalah (1) Melatih mahasiswa agar
terampil dalam melakukan kegiatan praktek keterampilan teknik untuk berbagai
sub bidang keterampilan, (2) Merakit dan memasang alat/perlengkapan
laboratorium keterampilan teknik, (3) Melakukan aktivitas percobaan guna
mengecek, uji coba, dan meneliti alat-alat laboratorium keterampilan teknik,
ketetapan-ketetapan serta standardisasi yang telah dibuat, (3) Membentuk dan
mendisain komponen-komponen tertentu dalam berbagai keahlian dengan menggunakan
fasilitas laboratorium keterampilan teknik, (4) Melayani mahasiswa dan
masyarakat dalam melakukan praktek kependidikan melalui alat-alat laboratorium
keterampilan teknik sebagai media, dan (5) Merawat dan memperbaiki alat/perlengkapan
laboratorium keterampilan teknik.
Berlainan dengan 2 bidang studi di atas, rupanya
bekerja/belajar dalam laboratorium bahasa tidak dimaksudkan untuk mengembangkan
bahasa dilihat dari segi kontek atau isi melainkan lebih merupakan kegiatan untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa. Dalam pendidikan nilai-nilai (value
education), seperti halnya dengan PMP, dengan penghargaan terhadap waktu,
mencari dan mendapatkan mufakat/konsensus dapat disimulasikan dalam permainan
peranan, dimana “job sheet” yang tersedia dalam laboratorium dapat
dipergunakan.
Fungsi tersebut di atas dapat terwujud dengan baik apabila
dosen mampu menggunakan dan mengelola, serta mengembangkan laboratorium dalam
rangka proses balajar-mengajar.
Untuk dapat menunjang efektivitas pembelajaran, maka
beberapa hal penting yang harus dimiliki oleh suatu laboratorium yang
teroganisir secara baik, ialah :
Efisien dan
Efektif
Pengaturan
alat/perlengkapan adalah merupakan yang paling penting, sehingga memungkinkan
bagi dosen dan para mahasiswa untuk dapat bekerja dengan hasil yang maksimal
serta waktu, bahan, tenaga yang minimal.
Sehat dan Aman
Cahaya/penerangan
yang baik, serta ventilasi/hawa yang cukup, tidak terlalu bising, dan dengan
penataan alat/perlengkapan yang baik akan menciptakan suasana yang sehat dan
aman atau tidak membahayakan.
Memenuhi kebutuhan
psikologis mahasiswa yang berpraktek.
Misalnya dapat
memberikan kesan teratur, aman, dan menyenangkan kepada mahasiswa yang
melaksanakan praktek. Sehingga bekerja/belajar di laboratorium adalah merupakan
pekerjaan/pelajaran yang mengasyikan kepada mahasiswa.
Dapat dikontrol dosen
pengelola setiap saat.
Hal ini bahwa
dosen pengelola harus dapat melihat ke segala jurusan, serta dapat mengedar
peralatan mana yang sedang dipakai/dioperasikan. Sehingga dengan demikian dosen
tersebut dapat menilai situasi atau keadaan dengan cepat dan tepat.
Menjamin
keselamatan alat dan mahasiswa.
Keselamatan
alat/perlengkapan serta instrumen dan bahan-abahn baku harus diperhatikan
penggunaan dan keselamatannya. Hal ini lebih penting lagi ialah memperhatikan
keselamatan dari siswa itu sendiri sebagai pekerja di laboratorium.
Memberikan suasana
pandangan yang menyenangkan.
Dengan penataan
warna yang menarik akan menciptakan suasana pandangan yang menyenangkan di
laboratorium, misalnya : dinding yang dicat dengan warna hijau muda, biru muda,
coklat, muda, dan warna-warna lembut lainnya akan memberikan suasana pandangan
yang menyenangkan.
D. Prinsip Perencanaan Penggunaan Laboratorium
Seperti telah dikemukakan bahwa laboratorium adalah
merupakan sarana untuk menjembatani teori dan praktek. Dengan bekerja/belajar
di laboratorium, mahasiswa dapat konsep-konsep yang didapat dalam teori. Oleh
karena itu perencanaan penggunaan laboratorium dalam program belajar-mengajar
harus mengingat dimensi-dimensi berikut (1) Jenis atau macam laboratorium yang
digunakan, (2) Siapa yang akan menggunakan laboratorium tersebut, (3) Waktu
yang tersedia, (4) Alat/perlengkapan yang ada, (5) Bidang studi, dan (6) Konten
dalam arti topik.
Perencanaan penggunaan laboratorium yang tersedia harus
memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Setiap jenis laboratorium
mempersyaratkan penggunaan dengan cara yang tertentu. Siapa yang akan
menggunakan ikut menentukan rencana pemanfaatan laboratorium. Hal ini erat juga
hubungannya dengan macam dan sudut penggunaan laboratorium.
Mengenai dimensi waktu perlu diperhatikan, antara lain (1)
Waktu yang tersedia bagi dosen;(2) Waktu yang tersedia bagi mahasiswa; dan (3)
Waktu yang tersedia bagi guru (pamong) apabila kita berfikir bahwa “client”
akhir dari LPTK adalah sekolah dengan guru pamongnya. Alat/perlengkapan yang
tersedia dalam laboratorium dan bagaimana cara menggunakannya akan
berbeda-beda. Oleh karena itu akan turut menentukan rencana pemanfaatan
laboratorium sebagai media proses belajar-mengajar. Penggunaan “Overhead Projector”
(OHP) akan lain dengan “Project Film”, dan akan lain pula dengan “Slide
Projector”. Cara bekerja dalam laboratorium IPA lain pula dengan laboratorium
Matematika, karena alat/perlengkapan yang dipakai pun berbeda.
Dimensi lain yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan
pemanfaatan laboratorium adalah bidang studi atau disiplin ilmu. Laboratorium
IPA lain dengan laboratorium Bahasa, laboratorium PPKn lain pula dengan
laboratorium Keterampilan Teknik, dan seterusnya.
Konten dan topik yang hendak dipelajari melalui laboratorium
akan berbeda pelaksanannya. Setiap topik memiliki dan menuntut karakteristik
penanganan penggunaan laboratorium tersendiri.
E. Prosedur Penggunaan Laboratorium
Penggunaan di sini berarti bagaimana mendayagunakan
laboratorium yang ada, agar bermanfaat bagi proses belajar-mengajar. Ada pun
langkah-langkah pemanfaatan laboratorium untuk program pembelajaran akan
berlainan bagi setiap bidang studi. Namun paling tidak langkah-langkah dan
hal-hal berikut secara umum terdapat dalam penyusunan program. Langkah-langkah
atau hal-hal tersebut adalah :
Analisis kurikulum
secara keseluruhan, baik Mata kuliah, deskripsi mata kuliah, pokok bahasan, dan
sub pokok bahasanya.
Penentuan pokok
bahasan.
Penentuan bobot
taksonomik dari pokok bahasan.
Penentuan Standar
kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran
Pengembangan
materi dari pokok bahasan.
Pengembangan
disain pembelajaran.
Penetapan apakah
seluruh bagian, satu atau dua bagian dari materi pokok bahasan yang memerlukan
laboratorium.
Alat/perlengkapan
apakah yang akan dipergunakan dan harus disediakan.
Penetapan
langkah-langkah dalam pembelajaran dengan memakai laboratorium.
Fasilitas lain yang tersedia dalam masyarakat, Production
House (PH), Balai Produksi Media Televisi (BPMTV), bengkel kerja,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD), pasar, bahkan masyarakat sendiri merupakan laboratorium; misalnya bagi
IPS dan PPKn yang tak ada habis-habisnya. Urutan langkah dalam penyusunan
program pembelajaran seperti tersebut di atas masih dapat dipakai dalam
mempergunakan fasilitas lain dalam program pembelajaran.
Selamat Mencoba !
LAB IPS
MUTLAK DIPERLUKAN
published
by admin on Tue, 2013-03-05 07:30
Dalam
Permendiknas RI No 24 tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana di sekolah Standar Nasional Pendidikan menyebut 14 poin
standar minimal yang haru ada di SMP dan MTs. Dari keempatbelas standar
tersebut salah satu menyebutkan harusnya ada Laboratorium IPA, tetapi tidak
mewajibkan sekolah memiliki Laboratorium IPS. Permendiknas tersebutb sering
diterjemahkan keliru oleh pemegang kebijakan maupun masyarakat. Karena tidak
disebutkan dalam permendiknas, sehingga setiap para guru IPS mengajukan
permohonan pengadaan Lab IPS di sekolah selalu ditolak dengan alasan tidak ada
dasar hukumnya dan tidak penting. Anggapan ini jelas sebuah kekeliruan besar,
sehingga para guru harus terus berjuang mengembangkan Lab IPS di sekolah.
Demikian sebagian petikan penting yang disampaikan Dosen Pendidikan IPS FIS UNY
Supardi M.Pd. di depan para guru dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepala
Laboratorium IPS SMP/MTs Selasa kemarin (26/2).
Di depan 50
guru dari berbagai sekolah di DIY dan Jateng tersebut, Supardi menekankan pentingnya
para guru memiliki kompetensi sebagai Kepala Lab IPS di sekolah. “Apabila guru
memiliki kompetensi Kepala Lab, diharapkan pengembangan Lab IPS akan semakin
berkualitas. Menjadi kepala Lab tentu bukan sekedar untuk memperoleh pengakuan
12 jam pelajaran” tegas Supardi disambut tertawa para peserta. Ditambahkan
Supardi, bahwa Lab IPS merupakan kebutuhan mendesak dalam proses pembelajaran
saat ini. Pembelajaran IPS yang berbasis pada masalah-masalah kontekstual akan
lebih bermakna apabila siswa menyelami secara langsung fenomena sosial
tersebut. Karena itulah Lab IPS sangat berperan dalam membawa berbagai
permasalahan sosial tersebut ke dalam
ruangan kelas.
Untuk
mewujudkan cita-cita mengembangkan Lab IPS tersebut Supardi memberikan resep
jitu kepada para guru yakni N dan I yang maknanya Nekad dan Istiqomah. Menurut Supardi, untuk saat ini sekolah masih
berikir banyak kali untuk memberikan ruangan Lab IPS. Karena itulah para guru
diharapkan mampu memanfaatkan ruangan sekecil apapun, kemudian diberi label Lab
IPS, yang diharapkan menjadi embrio Lab IPS yang besar. “Apabila kita istiqomah
dan menunjukkan manfaat yang baik, pasti akan diperhatikan sekolah. Jangan
belum apa-apa sudah menginginkan fasilitas standar” tegas Supardi.
Terpisah.
Ketua Jurusan Pendidikan IPS FIS UNY Sugiharyanto M.Si, memberikan keterangan
bahwa kegiatan pelatihan dilaksanakan selama dua bulan dengan pola 100 jam.
Pertemuan dilaksanakan setiap hari senin dan Kamis, menghadirkan instruktur
para dosen Pendidikan IPS FIS UNY. Ditambahkan Sugiharyanto, apabila para guru
menginginkan mengikuti kegiatan pelatihan pada gelombang berikutnya dapat
mendaftar langsung di Prodi Pendidikan IPS FIS UNY. (MR SPD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar